Selasa, 23 Agustus 2011

Cuplikan Scene Roman Picisan - Dongeng

Malam ini Sevira sedang berjalan-jalan di hutan Aridazai, di luar kerajaannya. Seharian ia sibuk membantu adik-adik kembarnya, Ardily dan Wardhazka, untuk menyambut ulang tahun mereka yang ketujuh belas. Kakaknya, Pangeran Darthlandaz sang putera mahkota,  tidak bisa membantu mereka karena ia sedang sibuk mempersiapkan diri untuk upacara penobatannya sebagai raja tiga bulan lagi.
Keberadaan Sevira di hutan ini tidak diketahui siapapun malam ini, karena ia menyelinap pergi dari kamarnya lewat lorong rahasia yang kata kuncinya hanya diketahui olehnya. Rupanya malam ini bulan sedang tidak bersinar, sehingga keadaan di dalam hutan menjadi gelap dan nyaris pekat. Sevira tidak akan mampu melihat apa-apa kalau bukan karena matanya yang tajam.
Kresk, kresk!
‘Bunyi apa itu?’ Sevira langsung waspada.  Suara ini sepertinya berasal dari balik pepohonan cendana di depannya. Ia berjalan mundur perlahan-lahan. Tangannya meraba-raba pinggang, menyentuh pisau yang selalu dibawanya.
“RROOOOAAARRHHH!!!!”
Sevira terloncat karena kaget. Di hadapannya kini berdiri monster hutan setinggi tiga meter. Sungguh, Sevira tidak menyangka akan bertemu monster seperti ini. Kalau saja ia membawa pedang panjang alih-alih pisau, pasti ia akan menebas kepala monster ini tanpa ragu.
BUM, BUM, BUM! Monster tersebut melangkah panjang-panjang untuk mengangkat Sevira dari tanah. Segera Sevira berlari ke arah yang berlawanan. Namun secepat apapun Sevira berlari, apa daya, monster tersebut jauh lebih cepat karena kaki-kakinya yang panjang. Pinggang Sevira pun diraihnya, tak bahwa peduli yang digenggam meronta-ronta sekuat tenaga. Sevira tidak berani berteriak, karena ia takut malah mendatangkan monster penghuni hutan yang lain. Nanti bisa-bisa ia semakin tercabik-cabik karena banyaknya monster yang datang...
“Lepaskan dia!” seru sebuah suara dengan lantang dari belakang si monster. Sevira malah merasakan bahwa genggaman di tubuhnya makin erat alih-alih dikendurkan.
CTASS! “RRROOOAAAARRRGGHH..” Raung si monster kesakitan. Rupanya sebuah panah menancap tepat di lehernya. Sevira dapat merasakan pegangan monster itu mengendur. Tetapi monster itu rupanya berkeras untuk tidak melepaskan Sevira.
Dengan susah payah Sevira membebaskan tangannya. Ia melemparkan pisaunya ke leher bagian depan monster itu. ‘Ah! Meleset!’ rutuk Sevira. Pisaunya malah mengenai dada si monster yang berkulit tebal.
 CTASS! CTASS! Dua buah panah kembali melayang ke titik vital pada tubuh si monster, menewaskanya seketika. Sevira memejamkan matanya dengan takut saat terjatuh dari ketinggian dua meter setengah. DUK! Kepalanya membentur akar pohon saat terjatuh sehingga ia pun jatuh pingsan.
O_o
Akhirnya, Sevira sadar begitu pagi menjelang. Belum sempat Sevira bergerak, pedang panjang yang runcing sudah mengarah pada lehernya. Sevira hanya diam sambil berusaha memfokuskan kembali pandangannya.
“Rupanya kau pingsan cukup lama.” Kata sosok itu.
“Terima kasih sudah membantuku.” Entah mengapa, Sevira merasa malu saat mengucapkan kata-kata itu.
“Seharusnya aku tidak boleh membantumu.” Kata sosok itu lagi.
“Mengapa?” Tanya Sevira polos
“Karena kerajaan kita.” Sevira sesaat tidak mengerti apa yang dikatakan pemuda di hadapannya. Namun setelah meneliti pakaian yang dikenakan pemuda itu, tahulah Sevira bahwa ia baru saja ditolong oleh seseorang dari kerajaan Dralavad, musuh utama kerajaannya.
“Lalu mengapa kau masih menolongku?” Tanya Sevira. Hatinya diliputi rasa hangat yang aneh, mungkin rasa hormat dan kagum mengingat pemuda ini telah mengingkari hukum kerajaannya demi menyelamatkan dirinya.
“Hmm... Coba kau pikir. Jika ada gadis yang diserang monster hutan yang kelaparan pada tengah malam, apa kau akan membiarkannya mati begitu saja?”
“Tapi itu melanggar hukum kerajaanmu, kan?”
“Hutan ini bukan milik kerajaan manapun. Disini tidak ada makhluk yang terikat oleh hukum.”
Pemuda tersebut menarik pedangnya dari leher Sevira. Sevira pun mendesah, lega.
“Berdirilah. Kau haus?” Pemuda tersebu mengulurkan tangannya dan membantu Sevira bangkit berdiri.
“Ya, aku haus sekali. Hmm, kita kan belum berkenalan. Aku Sevira. Siapa namamu?”
“Aldrich.” Deg. Sevira mematung. Pangeran Aldrich. Ia ingat sekali nama itu.
Dahulu, di kerajaan Dralavad, ada seorang raja bernama Aldrich. Raja inilah yang dikatakan pernah menculik puteri Shavilya, neneknya, untuk dijadikan isterinya. Rakyat kerajaan Aryalaz, kerajaannya, tidak terima dipermalukan seperti itu. Inilah asal muasal permusuhan kedua kerajaan.
Dan sekarang, Sevira sedang berhadapan dengan cucu kesayangan sang raja kejam itu sendiri.
‘Aku tidak sekejam itu, Putri Sevira,’
“Apa katamu tadi?” Tanya Sevira bingung. Bagaimana ia dapat mendengar suara Aldrich dalam kepalanya?
“Aku tidak sekejam itu. Begitu pula kakekku. Ini semua hanya kesalahpahaman belaka.” Kata Aldrich dingin. “Sudahlah, mari, kuantar kau ke sungai.”
“Sepertinya kau sering datang ke hutan ini.” ujar Sevira sambil tersenyum.
“Begitulah.”
“Dari mana kau tahu aku seorang putri?”
“Di kerajaanmu hanya ada satu Sevira, yaitu sang putri.”
Sevira diam saja. Di hatinya ia sedang mencemaskan masalah lain. ‘Bagaimana jika pasukan kakak menemukan pangeran Aldrich denganku disini?’
“Hahahaa, Putri,”
“Panggil saja aku Sevira, pangeran.” Potong Sevira otomatis.
“Baiklah, Sevira, mereka tidak tahu akan berhadapan dengan siapa.”
“Tapi...” Aldrich meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Sevira, mengisyaratkannya untuk diam.
“Kalau kau sedang dirundung masalah, aku akan selalu ada disini. Datanglah ke tempat ini setiap kali kau ingin bertemu denganku. Nah, sekarang aku harus pergi...”
“Bagaimana aku tahu kau akan ada disini saat aku membutuhkanmu?”
“Ini,” Aldrich memberikan sebuah peluit kecil pada Sevira. “Tiuplah saat kau membutuhkan aku.”
.................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar