Minggu, 26 Februari 2012

Puisi - Bencana

Bencana
By Rafa J

Sepasang mata bening
Menatap dengan nanar
Pemandangan itu,
Ah, siapa yang kan tahan
Anak-anak menangis
Remaja-remaja menjerit
Porak-poranda
Ah, siapa yang kan tega
Dimanakah penyelamat itu
Dimanakah bantuan
Sang cinta kasih
Segala itu lenyap tak berbekas
Hilang ditelan udara
Hanyalah sepasang mata
Bening menatap
Tanpa bisa melakukan
Pengharapan
Akankah kau tunjukkan jalan?
Kebebasan
Akankah kau menjemput?

Kamis, 23 Februari 2012

Puisi - Kasih Masih Ada (Kelompok Bunga MELATI ~ Agama)

Kasih Masih Ada
Oleh Dennis dan Angela dari kelompok Bunga Melati – Agama
Dibacakan oleh Victor Hugo dan Keshia

Kasih,
Dimanakah dirimu?
Hidupku hancur tanpa campur tanganmu...
Entah,
Apa lagi yang akan terjadi di dunia ini,
Tanpa kehadiranmu...

Namun nyataya,
Ia hadir...
Ditengah -tengah kita...
KasihNya yang mulia,
Uluran tanganNya,
Menyatukan kita semua...
Dan menyadarkan kita,
Bahwa kasih masih ada...
*~Jangan pernah putus asa untuk selalu melakukan sesuatu yang baik, karena KASIHmu adalah HARAPAN dan BERKAH bagi sesamamu.

Senin, 13 Februari 2012

Cerbung - Be Yourself, Kak! ~ Final Part

Be Yourself, Kak! ~ Part 3
“Woooh... Nantang ya lo?! Sini gue hajar lo!!” Si ‘Bos’ melangkah maju, hendak meninju wajahku. “JANGAN LO SENTUH ADIK GUE!” Kakak tiba-tiba muncul dari balik semak dan berjalan ke antara aku dan anak-anak kelas tiga tadi. Aku heran sekaligus tertegun. Ternyata kakak mencariku dahulu sebelum pulang, memastikan aku sudah menuju ke rumah. Tiap hari ia melakukan itu, meskipun kami sedang bertengkar.“Kok kakak tahu Rian disini?” Tanyaku pada kakak. “Firasat kakak bilang kamu bakalan kenapa-napa. Kakak nggak bakal biarin kamu disakitin.Makanya kakak cari kamu sampai ketemu. Kakak sampai keliling sekolah tiga kali tadi.” bisiknya, membuatku semakin tertegun. “Oh jadi lo tuh adiknya Richard comberan, ya? Pantesan aja, sama-sama kurang ajar!” anak bertato yang daritadi belum bicara mengejek kakak dan aku.
“Apa hak lu ngatain kakak gue comberan, hah?!” Tanganku mengepal. Kakak memelototiku, berusaha menghindari pertengkaran. “Rian, Toni, ayo pergi.” “Lu kira secepet itu, Chard?” Si ‘Bos’ memotong perkataan kakak. “Lu pikir setelah geng busuk lo itu berkuasa lu bakalan dihormatin semua orang, gitu? Bah, perintis utama geng The BadBoys. Ketuanya, pula! Lo nggak akan bisa keluar dari sini sehat-sehat setelah mempermalukan geng gue!” Bos mengakhiri pidatonya. “KAKAK! AWAS!” Teriakku terlambat. Sebuah pukulan lebih dulu melayang ke wajah kakak. Tahangku mengatup serapat-rapatnya. Aku sayang pada kakakku meskipun aku masih marah padanya. “Rian...“ Toni berusaha menghiburku. “Kak Richard... Kakakku... “ Gumamku sedih.
“Ari, Ringkus mereka, yok!” Seorang anak yang paling pendek disana mengajak si anak bertato tadi, yang bernama Ari, untuk meringkusku dengan Toni. “Sep! Biar pada diem!” Ari setuju. Tanpa banyak bicara lagi mereka mengunci tanganku dan tangan Toni di belakang, membuat kami tak dapat berkutik.Rahang kakak mengatup keras, tanda bahwa ia marah. “Lepasin adik gue! Lepasin Toni! Urusan lo  itu sama gue, jadi jangan lo sakitin mereka!” Bentaknya pada Ari dan temannya yang meringkus Toni. Aku tertegun melihat usaha kakak untuk membela diriku, Toni, dan harga dirinya. Padahal Toni bukan siapa-siapa baginya. Apalagi aku... Adik kurang ajar yang pernah berkata tidak mau mengakuinya sebagai kakak.
“Tenang aja, mereka nggak bakalan diapa-apain, kok. Tapi elo... bakalan gue bikin sekarat!” Kata  si ‘Bos’ tadi. Kakak menatapku. Aku berusaha tersenyum, namun Ari mencengkeram lenganku lebih keras lagi, sehingga senyumku itu berubah  menjadi ringisan. “ARI! JOVAN! CUKUP! LEPASIN ADIK GUE DAN TONI!” Kakak benar-benar marah sekarang. “Lu kira segampang itu?” BUKK!! Tinju kakak mendarat mulus di wajah si ‘Bos’, memotong ucapannya. “Tutup mulut lo! Dasar keparat lo, Bram! ” Maki kakak. Langsung, si ‘Bos’ yang bernama Bram tadi dan kedua temannya yang lain menghajar kakak habis-habisan. Tanganku mengepal. ‘Bagaimanapun juga dia kakakmu! Kamu tetap tidak boleh mengucapkan kalimat seperti itu kepadanya! Kalau nggak ada kakakmu siapa yang mau menolong kamu? Kamu itu seharusnya bangga... bla bla bla... ’ Kata-kata papa sewaktu memarahiku dan kakak terngiang kembali dalam kepalaku. Aku merasa menyesal sekali telah bertengkar dengan kakak.
Lima menit berlalu sudah. Saat Ari lengah, aku menginjak kakinya sekuat-kuatnya. “ADUH!” Erangnya sambil meloncat ke belakang. Karena kesakitan, refleks ia juga melepas kunciannya pada tanganku. Aku segera melepaskan diri dan menerjang kakak, untuk menyelamatkannya dari serangan berikutnya. “RIAN! BEGO! Kamu ngapain?! Mau cari bogem nyasar atau gimana?!” Kakak memarahiku. “KAKAK tuh yang bego! Rian mau tolongin kakak! Gak apa-apa ngadepin bogem, yang penting kakak selamat!” Aku membalas bentakannya.
“AWAS!” Peringatan kakak tepat pada waktunya. Aku berhasil menghindari pukulan dari Ari, yang entah sejak kapan berada didekatku. “BANCI LO SEMUA! Beraninya keroyokan doang!” Ledekku pada kakak-kakak kelas itu. Aku mengakhiri perkataanku dengan sebuah tendangan mulus dari sepatuku yang berlumpur untuk Bram, yang mencium wajahnya tanpa dapat dicegah. Keempat anak itu tersulut kemarahannya akibat ledekanku dan tendangan untuk ‘Bos’ mereka. “Mampus aja lo karena berani ama kita!” Ari menghardik. “Ayo kita lihat, siapa yang sebenarnya pantas kena karma!” Tantangku berani, menatap wajah mereka satu persatu.
“Ayo, Ri. Tunjukin kekompakan kita...” Kakak mengomando. Aku dan kakakku langsung membantai keempat anak tadi dengan segenap kemampuan. Kakak seolah disuntikkan kekuatan tambahan karena aku membantunya. Kami berhasil memberikan perlawanan setimpal, bahkan mendesak mundur kakak-kakak kelas itu. Tiba-tiba... “RIAAAN!!!” Teriak Toni panik. Aku menoleh cepat, namun tidak lama karena Ari dan temannya tetap menghujaniku dengan pukulan dan tendangan. Ternyata Jovan, anak yang masih meringkus pergelangan tangan Toni, memerhatikan keterdesakan teman-temannya. Ia meraih penggaris besi dari tas slempang Nike-nya dengan satu tangan, tanpa mengendurkan kuncian tangan kanannya pada pergelangan Toni. Toni panik karena penggaris besi itu mengancam lehernya.
Aku mundur menyerong kearah Toni perlahan-lahan, lalu melakukan gerakan secara tiba-tiba, melempar penggaris besi dari tangan Jovan ke semak-semak. “Aaahh! Sssshh... ” Desisku, menahan pedih di tangan kiriku yang sekarang robek karena penggaris tajam tadi. “RIAN! Ahh!” Wajah kakak terkena tendangan dari Bram saat lengah menengok padaku. Toni terbebas sesaat, namun Ari dan Jovan meraih lengannya kembali, menyeretnya dan mengunci pergelangan tangannya pada sebatang pohon, siap menjadikannya samsak hidup.
Jovan hendak memukul Toni yang sudah menunduk ketakutan ketika... “AARGHH!!!” Kakak menjerit sejadi-jadinya, kesakitan. Ia melemparkan diri ke hadapan Toni untuk melindunginya, sehingga pukulan dari Jovan mengenai ulu hatinya. “ KURANG AJAR!” Teriakku, memaki Jovan. Aku menonjok wajahnya dengan marah. “Anjrit, Bos! Satpam!” Anak yang memakai jaket biru tua tadi memperingatkan kawan-kawannya. “Awas lo nanti! Gue bales lo! Udah, Jov! tinggalin aja ini anak, biarin dia berurusan sama satpam.” Ancam Bram padaku sebelum memberi perintah pada kawan-kawannya untuk segera pergi.
“Kak Richard! Kakak nggak apa-apa, kan?” Aku langsung berlari menghampiri kakakku yang masih memegangi ulu hatinya, kesakitan. Kakakku menggeleng. “Sakit banget... Ri... Kakak... Nggak... Bisa berdiri!” Ujar kakak tersengal. “Hei! Siapa disana?” Seorang satpam yang tadi dilihat oleh salah satu teman Bram mendekati tempat kami berada. “Gimana nih, kak?” Aku berpaling cemas pada kakak. “Gak tahu... Sakit, Ri... Kakak... Nggak bisa... Berdiri...” Kakakku masih mengeluh kes akitan sambilmemegangi bagian ulu hatinya yang tertonjok tadi. “Udah, gue aja yang ngomong, Ri.” Toni menghampiri  satpam tersebut. “Tapi mereka nggak boleh tahu sampai detail! Nanti bisa runyam kasusnya...” Aku memperingati Toni. “Pastilah, Ri. Hehehe...” Toni nyerngir kuda. “Okedeh. Goodluck bohongin satpamnya.” Aku tersenyum kecil. “Oya, sekalian bawain tas kita, ya?” Toni mengacungkan jempolnya.
Aku berusaha memapah kakak dengan bahu kiri, dan berjalan perlahan menghindari pandangan satpam tadi, takut dicuraigai macam-macam karena keadaan kami yang luka dan kotor. “Rian?!” Aku terlonjak kaget mendengar sebuah suara memanggilku dari arah gedung. “Daniar?! Gue kira gedung sekolah sudah kosong sore-sorebegini. Lagi apa disini?” Jawabku heran. “Gue lagi... YA AMPUN, RI! Lo kok bisa luka gini, sih?! Terus... Kakak lo kenapa?” Daniar kontan kaget melihat keadaan kami yang parah. “Buruan gue bantuin mapah kakak lo ke UKS. Tangan kiri lo juga musti diobatin sekalian!”Daniar segera membantuku memapah kakak tanpa dikomando.“Makasih, Dan.” Hanya itu yang dapat kukatakan padanya saat itu.
Begitu sampai, perawat –perawat di UKS langsung membawa kami ke gawat darurat rumah sakit saat itu juga. Tanganku harussegera dijahit di ruang operasi. Awalnya aku enggan pergi ke ruang operasi dan berpisah dengan kakak, namun Daniar memaksaku. “Udaaaah! Biar gue aja yang nemenin kakak lo. Pergi sana, tangan lu itu harus cepat dijahit.” Kata Daniar. “Tapi...” “Mau sembuh nggak?” Paksanya, memotong ucapan protesku. Maka aku pergi ke ruang operasi dengan salah satu perawat UKS sekolah dan seorang dokter bedah, meninggalkan kakak dan Daniar dengan perawat lain.
Kakak harus dirawat di rumah sakit selama dua hari karena luka-lukanya yang parah. Terutama bagian ulu hatinya yang tertonjok oleh Jovan. Aku merawatnya seharian, dibantu oleh suster rumah sakit. Mbak Sri menjaga rumah, dan menelepon orangtuaku agar mereka cepat kembali dari Surabaya. Awalnya aku takut dimarahi orangtuaku karena kejadian ini, namun dugaanku ternyata salah besar. Mama dan papa langsung memeluk kami begitu melihat kami baik-baik saja.
“Kamu nggak apa-apa, Richard? Rian?” Tanya Mama khawatir sambil mengecup kening kakakku. “Nggak apa-apa kok, ma. Kan ada kakak.” Jawabku, sambil mengedip pada kakak. “Kan ada Rian.” Kakak membalasku. “Ah, kan yang penting kalian baik-baik saja. Papa punya sesuatu nih buat kalian.” Papa menyerahkan sekotak besar pizza. “HOREEE!!!” Seruku, menyerbu makanan tersebut. “WOI! Jangan diabisin, dong! Bagi-bagi kakak juga!” Kakak langsung teriak-teriak, berusaha menggapai  kotak pizza itu dari tanganku. “Sshhh! Berisik! Kasihan pasien yang lain!” Mama langsung heboh mengingatkan.
Kami tertawa bersama. Karena melihat mama heboh? Bukan. Tapi karena kami bisa berkumpul dan berbagi bersama, seperti dulu lagi. Dalam hatiku, aku tidak akan dapat menyangkal betapa berharganya seorang ‘kak Richard’ untukku. Ia kakakku, dan aku menyayanginya. Aku akan selalu bersyukur memiliki kakak yang baik seperti dia. Aku berjanji tidak akan mengecewakannya lagi, dan Kuharap pertengkaran seperti ini tidak akan terulang kembali.
~THE END~

Jumat, 10 Februari 2012

Seorang Profesor dan Seorang Nelayan - Cerita Moral Fiktif

Makasih banyak buat mama yang udah nunjukin cerita ini dari BBnya,
sehingga bisa aku gubah dan aku ceritakan ulang di sini.
Maaf kalau ada bagian yang kurang sesuai.
Semoga kalian suka...

Alkisah...
Ada seorang profesor yang sedang menaiki kapal bersama seorang nelayan. Niatnya, ia hendak menemani nelayan ini mencari ikan sekaligus mempelajari kehidupan si nelayan ini. Profesor pun mengajak si nelayan bicara saat kapal sedang berlayar ke tengah lautan.
Katanya, “Pak nelayan, apakah anda bisa pelajaran TIK (Telekomunikasi dan Informasi)?”
Si nelayan menggeleng sambil terus mengendalikan perahu. Jawabnya, “Tidak bisa. Disini tidak ada listrik. Bagaimana mau belajar komputer...?”
“ Waduh!” Profesor itu rupanya terperanjat. “Kalau anda tidak bisa menguasai komputer, itu sama saja dengan kehilangan seperempat hidup anda! Karena komputer dan internet itu adalah jalan kita untuk mengenal dunia, agar tidak terisolasi dari masyarakat luar.” Jelas sang Profesor.
Nelayan itu rupanya tidak peduli. Ia terus saja berkonsentrasi mengendalikan perahu.
Profesor pun ingin tahu lebih, maka ia bertanya lagi pada si nelayan. Katanya, “Pak, apakah bapak bisa matematika?”
Nelayan pun dengan bingung mengangkat kepalanya menatap profesor, dan bertanya balik, “Apa itu matematika, Prof? Jangan bilang yang ada ‘mati-mati’nya, Profesor! Pamali, tahu, jika sedang berlayar seperti ini.”
Profesor pun menunduk dan menggelengkan kepala. Kesal juga ia rupanya.
“Matematika itu berhitung!” Jelas sang Profesor, berusaha sabar. “Kalau kamu tidak bisa matematika, kamu bisa ditipu orang! Dengan tidak bisa matematika, saya jamin kamu telah kehilangan setengah dari hidupmu, karena hidup ini sebagian besar bergantung pada ilmu berhitung.”
Nelayan hanya cengengesan. “Hehehe, maaf prof. Jangan marah begitu, dong. Saya memang benar-benar tidak tahu matematika. Tapi saya bisa menghitung ikan, kok. Jangan salah.”
Profesor hendak menghentakkan kakinya karena kesal, ketika ombak yang cukup keras menerpa kapal itu. Kapal pun bergoyang dengan kuat, sehingga Profesor ketakutan.
“Aduh, Aduh!” Jeritnya. “Kalau sampai kapal ini terbalik, bagaimana jadinya! Aku takut tenggelam.” Keluh Profesor, sambil berpegangan erat-erat pada pinggir kapal.
“Prof,” Si nelayan berkata, “Saya bukannya mau balas menggurui. Tapi lihat saja. Tidak bisa TIK, berarti kehilangan seperempat hidup. Tidak bisa berhitung, berarti kehilangan setengah hidup. Lha, kalau anda tidak bisa berenang, anda bisa kehilangan seluruh hidup anda! Hehehe...”
Profesor yang ketakutan itu hanya mengangguk-angguk, menyadari kebenaran kata-kata nelayan sambil terus berpegangan pada kapal lantaran ketakutan...