Minggu, 30 Oktober 2011

Nico dan Nevada - Prologue

‘Seharusnya ada disini...’ Pikir seorang anak perempuan sambil terus merangkak masuk ke kolong tempat tidurnya. ‘Mana, sih, senter kecil itu?’ Rutuknya kesal.
‘Jangan-jangan...’
Anak itu segera keluar dari kolong tempat tidurnya dengan susah payah, dan membanting langkahnya menuju kamar tidur kakaknya.
Kamar Nico, kakak anak perempuan itu, tidak terlalu luas. Namun perabot yang ada ditata dengan rapi oleh ayah mereka, sehingga menimbulkan kesan nyaman yang menyenangkan. Dindingnya dicat hijau lembut, dan langit-langitnya putih. Tirai yang tersibak membuat kamar itu menjadi terang benderang. Tetapi Nevada kemari bukan untuk mengagumi desain interior kamar kakaknya, ia kemari untuk menuntut kakaknya atas hilangnya senter kantong kesayangannya.
BRAKK!!
Nevada membanting pintu kamar kakaknya keras-keras.
“KAK NICOOO!!! MANA SENTERKUUU!” teriaknya kesal, membuat kakaknya, Nico, terloncat dari kursi belajarnya dan jatuh mencium lantai dengan sukses. Telepon seluler yang sedang dipegang oleh Nico pun membentur lantai dengan keras. Segera Nico bangkit berdiri dan menyambar ponsel itu. Segera didekatkannya ponsel tersebut ke telinganya.
“Duh, maaf, tadi adikku teriak. Maaf banget ya, Jane sayang, aku telepon lagi nanti. Bye.” Kata Nico cepat-cepat dan segera memutuskan hubungan telepon dengan Jane, pacarnya.
“Cih. Pacaran melulu.” Cibir Nevada setengah berbisik.
“NEVADAAA!!!!!” Teriak Nico emosi sambil menerjang adiknya kuat-kuat ke lantai.
“APA?!” balas Nevada tak kalah kesal sambil terus meronta dari cengkeraman Nico. Tak sampai sedetik kemudian, mereka sudah bergulat di lantai dengan seru. Beberapa barang bahkan berjatuhan dari atas meja belajar Nico yang terletak di dekat pintu, karena terbentur tubuh Nevada dan Nico yang sedang bergulat seru di lantai.
“Bisa nggak sih kamu nggak gangguin aku! Sehariiii, aja!”teriak Nico kesal.
“Kalau nggak bisa memang kenapa?!” balas Nevada sengit.
“Harus bisa! Kalau nggak, aku nggak akan pernah bisa tenang seumur hidupku!” Nico tetap memaksa.
“Biar kakak bisa pacaran dengan tenang, maksudnya?” pancing Nevada nakal. Nico pun semakin kuat menerjang dan menampar adiknya keras-keras hingga Nevada mengerang kesakitan. Kali ini, jendela kamar yang menjadi korban, tertabrak punggung Nevada setelah ia dihempaskan ke belakang oleh kakaknya. Kaca jendela pun bergetar, seakan-akan siap pecah kapan saja.
“KAMU ITU YA! Cari masalah melulu!” teriak Nico lagi
“Siapa suruh kakak seenaknya mencuri senterku!” balas Nevada tidak mau kalah.
“Aku nggak mencuri barang itu! Jangan asal tuduh kamu, ya!”
“Lalu dimana senterkuuu!” teriak Nevada kesal. Lama-lama emosinya tersulut juga melihat kakaknya marah-marah dan memukulinya seperti ini. Mereka berguling sambil saling menjambak di lantai sesaat sebelum...
BRUK!
“Aaarrggh...” Nevada dan Nico mengerang bersamaan.
Keduanya membentur rak buku dan CD musik koleksi Nico hingga banyak barang berjatuhan menutupi tubuh mereka. Susah payah mereka bangkit berdiri, ketika Nevada menemukan sesuatu yang bersinar, dan hampir ditindih oleh kakaknya saat terpeleset jatuh. Sebuah senter kantong kecil berwarna perak.
“SENTERKU!” serunya senang. Kemudian ia menatap garang ke arah Nico, yang baru saja berhasil berdiri kembali. “Kakak mencurinya!” tuduh Nevada.
“Sudah kubilang, aku tidak mencurinya!” sanggah Nico, membela diri.
“Lalu mengapa senterku ini bisa ada di atas rakmu! Dasar licik!” teriak Nevada kesal.
“Aku tidak tahu! Yang jelas aku nggak menyentuh barang jahanam itu selama ini!” Nico balas berteriak.
“Apa kamu bilang! BARANG JAHANAM?! Dasar kakak menyebalkaaan!!” jerit Nevada sambil menerjang kakaknya, sehingga kepala Nico terbentur lantai dengan cukup keras.
Tiba-tiba, seseorang membuka pintu kamar Nico perlahan, dan memekik kecil karena shock. Wajahnya sesaat memancarkan keterkejutan yang luar biasa melihat keadaan kamar Nico yang begitu hancur. Tetapi, ekspresinya berubah menjadi amat menyeramkan ketika memandang kedua anak yang sedang bergulat di lantai tanpa menyadari keberadaan dirinya.

BRAK!!!

Ia menggebrak pintu kamar, sehingga Nevada dan Nico berhenti bertengkar.
Nevada dan Nico segera berhenti bergerak begitu melihat siapa yang memukul pintu kamar dan mengganggu ‘pertarungan seru’ mereka.
“Mama...” desis Nico tertahan. Langsung saja, keduanya menyadari tubuh mereka sakit akibat bertengkar barusan. Tapi, tidak ada bagian yang luka secara serius. Paling hanya sedikit luka lecet di beberapa tempat. Bahkan kepala Nico yang tadi terbentur lantai dan pipi Nevada yang ditampar Nico, tidak apa-apa. Tidak luka sedikitpun!
“Nevada, Nico ... Ada apa ini?” geram sang mama menahan amarah. Nevada dan Nico langsung memucat begitu mendengar suara mama. Kali ini kemarahan mama sudah melebihi biasanya, melihat kedua anaknya yang sudah remaja itu lagi-lagi bertengkar, layaknya dua anak kecil berebut mainan.
Nevada dan Nico segera berdiri. Keduanya tidak ada yang berani bicara.
“Kalian... ADA APA INI?! JELASKAN!” teriak mama.
“Kak Nico mencuri senterku, ma!” kata Nevada mengiba sambil - sempat-sempatnya – melemparkan pandangan sengit ke arah kakaknya.
“Nevada menggangguku saat aku menelepon Jane!” balas Nico kesal.
“Kak Nico menerjangku duluan!”
“Nevada membuatku jatuh tersungkur saat menggebrak pintu kamar dan berteriak keras, ma!”
“Kalau kamu jatuh kan itu karena salahmu sendiri!”
“Kalau kamu nggak bikin aku kaget seperti itu, aku nggak akan jatuh!”
“Kalau kamu nggak mencuri senterku pasti aku nggak akan marah-marah seperti itu!”
“Harus aku katakan berapa kali padamu, aku bahkan nggak menyentuh senter itu!”
“Bohong! Tadi aku menemukan senter ini di rakmu!”
“Senter itu nggak mungkin ada disana! Pasti kamu yang bohong!”
“STOP, STOP, STOP!!!” teriak mama sekeras-kerasnya. Nevada dan Nico langsung terdiam kembali melihat wajah mama yang sudah merah padam. “Mama tadi meminta kalian menjelaskan, bukan kembali bertengkar! Nico, berikan ponselmu.”
“Tapi...” Nico mengiba.
“BERIKAN PONSELMU!” teriak mama keras. Nico pun terpaksa mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan ponselnya pada mama. Nevada menyunggingkan senyum kemenangan melihat wajah kakaknya yang begitu suram.
“Kamu juga dilarang memakai ponsel selama perjalanan. Berikan ponselmu juga.” Kata mama pada Nevada.
“Tapi itu tidak adil! Kak Nico yang salah!” Seru Nevada kesal. Nevada menghentakkan kakinya pertanda ia mengamuk. Mama terpaksa membujuk gadis itu sehingga akhirnya ia memberikan juga ponselnya.
“Nah, kalian lebih baik bersiap menaikkan barang-barang kalian ke mobil. Kita berangkat setengah jam lagi. Tapi sebelum itu, obati dulu luka kalian.” Kata mama sambil melangkah keluar dari kamar Nico, diikuti oleh Nevada. Nico mendengus, ‘Apa yang perlu kuobati,’ pikirnya jengkel sambil mengepak tas secara asal-asalan di atas ranjangnya. ‘Aku dan Nevada bahkan tidak terluka!’
------------------------------
Liburan musim panas kali ini, keluarga Nevada dan Nico memang berencana untuk berkemah di tepi hutan Amazon. Nevada langsung melonjak kegirangan menyambut berita ini. Ia memang suka sekali berkemah. Sedangkan Nico langsung memberengut begitu mendengarnya. Nico lebih menyukai berada di rumah dan membaca buku-buku pengetahuan dibandingkan mengalami secara langsung rasanya berkemah. Amat sangat berbeda dengan Nevada, adik perempuannya.
Nevada langsung menaikkan barang-barang bawaannya ke mobil setelah mengecek barang-barang tersebut sekali lagi. Disandangkannya ransel besarnya, yang selalu dibawanya jika bepergian ke atas bahunya.
“HEI! Kak Nico! Lama sekali sih!” teriak Nevada dari depan rumah sebelum memasuki mobil.
“Iya! CEREWET!” balas Nico dari kamarnya. Beberapa saat kemudian terlihat Nico dan ayah berusaha menggotong tas berisi tenda ke dalam mobil. Nevada hanya berdiri diam saja tanpa berniat membantu keduanya, mengundang tatapan kesal Nico. Untunglah, wajah sangar mama yang masih membekas karena pertengkaran mereka tadi membungkam mulut kedua anak itu.
Akhirnya setengah jam kemudian, mobil pun siap berangkat. Nevada langsung meminta GPS pada ayahnya dan mempelajari cara penggunaannya setelah mereka sampai di mobil. Nico hanya mendengarkan lagu lewat iPod-nya, sambil sesekali melirik ke arah Nevada yang begitu asyik dengan GPSnya. Sesekali pula, tak urung Nico tersenyum kecil melihat tingkah Nevada yang begitu menggelikan, saat ia kebingungan karena salah memencet tombol pada GPS.
Setelah enam jam perjalanan yang membosankan dengan pesawat dan jeep sewaan, akhirnya mereka pun sampai ke lokasi perkemahan. Hari sudah pagi saat itu, meski hawa di tepi hutan masih dingin. Pohon-pohon berjajar renggang mengelilingi perkemahan dengan rapi, seakan tertata. Bekas perapian yang penuh abu terlihat di tengah perkemahan. Nevada langsung meloncat turun dari mobil dan meregangkan tubuhnya.
“HUAAAH! Segarnya!” katanya senang. “Tubuhku terasa kaku semua karena terlalu banyak duduk!”
Nico keluar dari jeep yang mereka tumpangi barusan setelah adiknya turun. Dengan malas, ia menggendong ransel berat Nevada keluar dari mobil dan membantingnya di dekat kaki adiknya itu.
“Apa ada tempat peristirahatan disini? Aku ingin menonton TV.” Kata Nico menyindir.
Nevada langsung cemberut. Tapi ia tidak membalas ucapan kakaknya, ia hanya mengambil tasnya yang tergeletak di atas rumput sambil mendengus kesal, dan pergi menjauh.
“Tidak ada, Nico. Papa sengaja memilih lokasi yang paling jauh dari tempat peristirahatan, tetapi paling dekat dengan danau kecil di tepi Amazon itu. Nevada pasti menyukainya.” Kata papa sambil menurunkan bawaan dari bagasi.
“Danau dimana, pa?” tanya Nevada semangat.
“Itu, kalian lihat saja ke arah barat. Ahh, kalau kurang jelas, ini, lihat di peta ini saja.” Kata Papa sambil menyerahkan selembar peta pada Nico.
“Oh, Iya, Neva lihat! Wah, indah sekali danaunya,” kata Nevada sambil melompat-lompat kecil agar danau yang dimaksud papa tadi lebih jelas terlihat olehnya. Memang, pepohonan di sini tidak terlalu rapat, sehingga danau tadi yang jaraknya hanya beberapa meter dari perkemahan dapat dilihat dari tempat Nevada berdiri.
“Danau Vraganz...” baca Nico sambil membolak-balik peta.
“Apa namanya tadi?” Nevada mulai tertarik. Ia berhenti meloncat-loncat dan menghampiri kakaknya yang sedang membaca peta.
“Vraganz... Nama danau itu Vraganz. nama yang aneh, ya?” kata Nico sambil terus mengamati peta.
“Coba, sini, aku mau lihat.” Nevada ikut mengamati peta yang dipegang Nico. Ia terpaku kebingungan pada tulisan VRAGANZ pada peta.
“Bagaimana mengejanya tadi?” tanyanya lagi.
“Hey, ada tempat peristirahatan, lima kilometer dari sini. Wah, mungkin mereka punya TV,” Kata Nico, yang sudah berpindah mengamati wilayah selatan di peta.
“Mana, mana!” sahut Nevada.
“Sudah, lebih baik kalian membantu papa memasang tenda.” Kata mama tiba-tiba. Nevada lebih dulu bereaksi, ia membalikkan tubuhnya dan menghadap papanya. Namun ia mengurungkan niat untuk membantu ketika dilihatnya sesuatu yang menarik di balik semak, tak jauh daritempat papanya mendirikan tenda. Ia berlari mendekati sosok unik itu.
“Nev...?” Nico baru saja membalikkan badannya ketika dilihatnya Nevada berlari ke arah hutan. Segera ia mengejar adiknya itu.
“Neva! Nevada!” Panggil Nico sambil terus berlari.
“Hei, kak, kemarilah!” Nevada berlari makin jauh sambil mengejar -  Hei, apakah itu... - kelinci berbulu biru... dengan telinga seperti telinga kucing dan ekor seperti ekor monyet? Panjang ekor itu kira-kira dua kali tinggi tubuh Nico. Ah, tetapi Nico tidak peduli pada makhluk biru yang aneh itu. Yang paling penting adalah agar Nevada tidak sampai masuk terlalu jauh dan tersesat di dalam hutan.
Nico semakin cepat berlari, mengejar Nevada. Akhirnya Nevada pun berhenti, sambil memandangi makhluk biru tadi. Nico yang tidak menyangka bahwa Nevada akan berhenti, nyaris menabraknya. Untunglah ia berhasil menjaga keseimbangan dan kembali berpijak dengan kuat. Makhluk biru itu membeku seperti patung, seakan siaga menunggu datangnya sesuatu.
“Nev...” Kata Nico takjub, tidak yakin akan apa yang dilihatnya. “Sebenarnya, makhluk apa itu?”
“Aku juga nggak tahu, kak.” Jawab Nevada. Ia berjalan perlahan mendekati makhluk itu dan berjongkok untuk mengamatinya.
Nico berjongkok di samping Nevada, untuk mengamati makhluk itu lebih dekat lagi seperti adiknya.
“Sebaiknya jangan kamu sentuh makhluk itu, siapa tahu...” Terlambat, Nevada keburu mengulurkan tangannya dan membelai punggung berbulu makhluk biru yang aneh itu. Tiba-tiba...
“AAAHHH!!!” jerit Nevada, refleks meraih tangan Nico yang berada di sebelahnya. Binatang itu menggerakan tubuhnya, mengejutkan Nevada. Nico balas mencengkeram lengan adiknya untuk menenangkannya.
Tahu-tahu makhluk itu sudah melingkarkan ekornya ke pinggang Nevada dan menarik gadis itu pergi, menjauh dari perkemahan. Nico, yang sebelah tangannya ditarik oleh Nevada, otomatis ikut terseret bersama mereka. Makhluk ini membawa mereka masuk lebih jauh ke dalam hutan dengan kecepatan suara dalam tiap langkahnya. Setelah tiga langkah, Nico tahu bahwa makhluk ini melompat alih-alih melangkah lebar, mengangkat dia dan Nevada agar mereka tidak membentur tanah. Semakin ketakutanlah mereka berdua. Ia dan Nevada sampai menjerit-jerit. Namun, sepertinya tidak ada yang mendengar teriakan mereka.
“Apa yang terjadiii! Hei, turunkan kamiiii!!!” seru Nico histeris. Tangannya yang satu lagi berpegangan kuat pada kaitan ekor makhluk biru yang meliliti pinggang Nevada. Ia tidak berani mengendurkan pegangannya barang sedetik pun. Sungguh, ia ketakutan setengah mati diseret pergi seperti itu.
Dalam perjalanan yang memacu adrenalin itu, Nico sadar, mereka baru saja melewati sebuah pintu sejenis portal. Karena begitu cepatnya kelinci biru itu berlari, Nico tidak mengamati dengan detail pintu portal yang barusan mereka lewati. Tiba-tiba saja mereka sudah berada di bagian dalam hutan, Nico mengenalinya karena ukuran pohon-pohon di sini lebar dan tinggi sekali. Makhluk ini masih membawa dia - dan Nevada - meloncat tinggi diantara pepohonan raksasa.
“BERHENTI!!!” jerit Nevada putus asa.
Tak lama, makhluk itu berhenti di depan sebuah batu. Nico dan Nevada ikut berhenti, namun Nevada masih berayun di udara. Nico sudah bangkit berdiri ketika disadarinya ia kelelahan.
Sepertinya tanah di tempat mereka berhenti sekarang pernah ditempati kemah, karea Nico melihat sebuah lingkaran hitam bekas api unggun di sebelah kanan mereka. Ekor yang membelit pinggang Nevada tak kunjung lepas meski makhluk itu telah berhenti, membuat gadis itu semakin ketakutan dan gemetaran. Ia tidak berani meronta lagi, karena ia tidak berada di tanah, melainkan masih melayang di udara, disangga oleh ekor kelinci biru itu.
“Wah, ternyata ia mengerti ucapanmu, Nev.” Kata Nico, mencoba bercanda sambil melepas pegangannya pada ekor biru makhluk tersebut. Tangannya yang satu lagi masih memegangi tangan Nevada, yang mencengkeram kuat sikunya. Nevada hanya menatap binatang itu dengan ngeri. Ia sedang ketakutan, sehingga tidak begitu mendengarkan perkataan Nico.
“Lepaskan aku!” pinta Nevada pada makhluk biru itu. Suaranya bergetar, seakan nyaris pecah.
“Lepaskan mereka, Ciryon. Mereka ketakutan.” Terdengar sebuah suara yang datang dari balik pepohonan. Ciryon segera menurunkan Nevada perlahan ke atas rumput, kemudian melepas ekornya yang membelit pinggang gadis itu. Nevada terlihat lega sekali. Ia melepas cengkeramannya pada tangan Nico.
“Kane, sepertinya ritualmu berhasil.” Sahut suara yang satu lagi.
 “Kau tidur saja dulu, Ciryon.” Suara pertama kembali terdengar.
“Siapa kalian?” Nico langsung siaga. Nevada mencengkeram kembali lengan Nico kuat-kuat, tapi tidak sekuat sebelumnya. Dilihatnya Ciryon, si kelinci biru, telah tertidur pulas. Sepertinya ia lelah akibat perjalanan singkat tadi.
Dua sosok manusia – atau setidaknya mereka mirip manusia – melangkah mendekati Nevada dan Nico. Makhluk yang tadi dipanggil Kane terlihat seperti manusia gothic, serba hitam, rambutnya biru tua kehitaman dengan panjang sebahu, dan berkulit amat pucat. Sedangkan makhluk di sebelahnya memiliki telinga panjang yang runcing, rambut yang panjangnya sepunggung dan agak berantakan, memakai ikat kepala dari kulit.
Keduanya memakai jubah bertudung, milik Kane berwarna hitam keunguan, sedangkan milik kawannya berwarna hijau serupa warna daun cemara. Tudung mereka tidak dikenakan sehingga wajah mereka terlihat jelas. Poni sang ranger dibiarkan jatuh melintang di kedua sisi wajahnya, sedangkan poni milik Kane menutupi sebagian wajahnya. Mata sang ranger berwarna cokelat gelap, sedangkan warna mata Kane keunguan.
“Maaf, nak, tapi kalian harus diam dulu sementara. Terutama setelah perjalanan bayangan yang melelahkan.” Kane membidikkan sumpitnya dua kali dalam kecepatan cahaya. Tak sampai semenit kemudian, Nevada dan Nico sudah tergolek di atas rumput. Mereka tertidur, dan tidak lagi mendengar apa-apa akibat obat bius dalam sumpit yang dibidik Kane.

Jumat, 28 Oktober 2011

HOW THE LOTR SHOULD HAVE ENDED (youtube video) - Dialogue

HOW THE Lord Of The Rings SHOULD HAVE ENDED
Elrond : (Seriously) The Ring must be taken back into the fiery chasm from whence it came. One of you... (Looking sharply to everbody in the counsel) Must do this...
Gandalf : (Raising his finger) I had an idea. It just might work!
15 minutes later...
Aragorn : Saurooonnn... Hey, Sauron!
Suron looks at Aragorn, Legolas, Gimli, and Boromir angrily.
Sauron : (Whisper terrifyingly) I See You....
Aragorn :You SUCK!!!
Aragorn laughs pointing at Sauron, Legolas makes a jokey face, Gimli dances terribly with his hands raised up, and Boromir shows his ass.
Sauron : Grrr.... (Angrily)
Sauron’s eye narrowing because of anger.
Meanwhile...
Gandalf, Merry, Pippin, Sam, and Frodo fly through Mordor using an eagle whose eyes covered by a cloth so he doesn’t get scared or whatever else while flying though the air of Mordor. Sauron’s eye is fixed to the four jokers who played tricks on him (Aragorn, Legolas, Boromir, Gimli) so he doesn’t realize that Gandalf and the hobbits fly though the air, straight to the top of Mount Doom.
Gandalf : (Shout) Prepare yoursef Frodo! We’re almost there!
Frodo : (scared) Gandalf, there’s fire below us!
The Eagle : PWIIIIINNGGGK... ?!!! (What the heck is going on?!!!)
Gandalf : (Still shouting) I’ll tell you when it’s over! Just keep flying, Blasticbird! Ready the Ring, Frodo!
Frodo holds the ring with his right hand.
Frodo  : (Shout in reply) Ready!
Gandalf : (Still shouting) NOW, FRODO!!!
Frodo Releases the Ring
Frodo : Wheee.....
The ring goes straight down to the heart of mount doom. Suddenly...
Gollum : (Shout and jump in to the lava, trying to reach the ring) PRECIOOOOUUUUSSS!!!!!
Gollum grabs the ring.
Gollum : Hehehehee..... Uhh?
SPLUBT!
Gollum and the ring all vanish into the heart of Mount Doom
Sauron’s eye also break down because the ring is now gone.
The Nine Companions flew home using Gandalf’s eagles.
Merry : Well, that was incredibly easy!
All : Hohohohoho....
Pippin : Yeah, one of us might have died!
All : Hohohohoho... Don’t be silly.. hohohoho...
Eagle : PWIIINGGGKKKK....
-THE END-

Jumat, 07 Oktober 2011

Terjemahan Repost - Indonesian

Post ulang :

Ibuku hanya memiliki sebuah mata.

Aku amat membencinya. Ia sungguh memalukan. Ia memasak untuk para murid dan guru untuk menopang keadaan keluarga. Ada suatu ketika, di saat aku masih SD, ibu datang dan menyapaku. Aku amat malu. Bagaimana ia bisa melakukan ini padaku?! Aku mengabaikannya, memberinya pandangan benci dan berlari menjauh.

Keesokan harinya...
Teman-teman sekelasku mengejek : ... "IIIIIH! Ibumu hanya memiliki satu mata!"
Aku merasa ingin menguburkan diri. Aku juga ingin agar ibuku menghilang. Pada hari itu juga aku menghadapnya dan berkata : "Kalau ibu hanya ingin membuat aku sebagai bahan tertawaan, Kenapa ibu tidak mati saja?!" Ibuku tidak berkata apa-apa... Aku bahkan tidak berpikir barang sedetik pun saat mengucapkan kata-kata barusan, karena aku marah sekali. Aku juga tidak peduli lagi dengan perasaannya. Yang kuinginkan pada saat itu hanyalah kabur dari rumah dan tidak perlu lagi berurusan dengannya.

Maka, aku belajar mati-matian dan mendapatkan kesempatan belajar di Singapura. Lalu aku menikah, dan membeli rumah sendiri. Aku memiliki anak. Aku bahagia sekali dengan kehidupanku saat ini, dengan anak-anakku, dan segala kenyamanan yang kumiliki. Pada suatu hari, ibu datang ke rumahku. Ia belum pernah mengunjungiku selama bertahun-tahun, bahkan ia belum pernah melihat cucu-cucunya sama sekali.

Saat ia berdiri di depan pintu rumahku, anak-anakku menertawainya, dan aku membentaknya karena ia datang tanpa diundang. Aku berteriak keras-keras, "Beraninya kau datang ke rumahku dan menakuti anak-anakku! Keluar dari sini, SEKARANG!!!" dan ibuku menjawab perlahan, "Oh, maaf. Mungkin saya salah alamat..." dan ia pergi begitu saja, hilang dari pandangan.

Suatu hari, ada sebuah surat tentang acara reuni sekolah yang sampai ke rumahku. Maka aku berbohong pada istriku, berkata bahwa aku akan pergi karena urusan bisnis. Setelah acara reuni selesai, aku berkunjung ke gubuk tua tempat masa kecilku berlangsung dulu, karena penasaran. Tetangga-tetanggaku berkata bahwa Ibu telah meninggal. Aku bahkan tidak menangis, tidak mengeluarkan setitik air mata pun. Mereka memberikan aku sepucuk surat dari Ibu :

Untuk, Anakku tersayang.
Aku berpikir tentangmu di setiap waktu yang kumiliki.
Maafkan aku, karena aku berkunjung ke rumahmu di Singapur dan menakuti anak-anakmu.
Aku amat gembira saat mengetahui bahwa kau akan datang saat acara reuni dilangsungkan.
Tetapi aku bahkan tidak dapat bangkit dari tempat tidurku.
Maafkan aku karena selalu mebuatmu malu sepanjang masa kecilmu.
Kau tahu... Ketika kamu masih kecil, kamu mengalami kecelakaan, dan sebelah matamu tidak lagi berfungsi.
Maka dari itu, aku memberikanmu mataku.
Aku amat bangga karena anakku mampu melihat dunia untukku, di tempat aku berada, dengan mata tersebut.
Dengan segenap cintaku padamu, Ibumu tersayang.

Terima kasih untuk
@Edwin Hartono Limbri yang telah mengepos cerita keren ini di status fbnya.
numpang maring blogku, rapopo, kan, le? ^^

Selasa, 04 Oktober 2011

Repost dari Facebook

 
repost:
My mom only had one eye.

I hated her... She was such an embarrassment. She cooked for students and teachers to support the family. There was this one day during elementary school where my mom came to say hello to me. I was so embarrassed. How could you do this to me? I ignored her, threw her a hateful look and ran out.

... ... The next day at school one of my classmates said. ......"EEEE, your mom only has one eye!" I wanted to bury myself. I also wanted my mom to just disappear. So I confronted her that day saying, "If you are going to make me a laughing stock, why don't you just die?!" My mom did not respond... I didn't even stop to think for a second about what I had said, because I was full of anger. I was oblivious to her feelings. I wanted to be out of that house, and have nothin to do with her.

So I studied really hard, got a chance to go Singapore to study. Then I got married, I bought a house of my own. I had kids of my own. I was happy with my life, my kids and my comfort. Then one day my mother came to visit me. She hadn't seen me in years and she didn't even meet meet her grandchild ren.

When she stood by the door, my children laughed at her, and I yelled at her for coming over uninvited. I screamed at her, "How dare you come to my house and scare my children!" "Get out of here! Now!!!" And to this, my mother quietly answered, "Oh, I'm so sorry. I may have gotten the wrong address," and she disappeared out of sight.

One day, a letter regarding a school reunion came to my house in Singapore. So I lied to my wife that I was going on a business trip. After that reunion, I went to the old shack which was my childhood home out of curiosity. My neighbors said she passed away. I did not shed a single tear. They handed me a letter that she wanted me to have:

My dearest son, I think of you all the time. I'm sorry that I came to Singapore and scared your children. I was so glad when I heard you are coming for the reunion. But I may not be able to even get out of bed to see you. I'm sorry that I was a constant embarrassment to you when you were growing up. You see.... When you were little, you got into an accident , and lost your eye. So I gave you mine. I was so proud of my son seeing a whole new world for me, in my place, with that eye.
With my love to you, Your mother

Thanks to,
@Edwin Hartono Limbri who posted this cool story on his status.