Selasa, 04 Desember 2012

Imagine - John Lennon

Untuk Jordyann. Kuharap kau mengerti.
Untuk Anton - terima kasih panggilan 'john-lennon'-nya -_____-''
Christop, dengarkanlah lagu ini.

Imagine - John Lennon


Imagine there's no heaven
It's easy if you try

No hell below us

Above us only sky

Imagine all the people living for today



Imagine there's no countries

It isn't hard to do

Nothing to kill or die for

And no religion too

Imagine all the people living life in peace



You, you may say

I'm a dreamer, but I'm not the only one

I hope some day you'll join us

And the world will be as one



Imagine no possessions

I wonder if you can

No need for greed or hunger

A brotherhood of man

Imagine all the people sharing all the world



You, you may say

I'm a dreamer, but I'm not the only one

I hope some day you'll join us

And the world will live as one

Rabu, 31 Oktober 2012

Puisi pendek - Sepi

Untuk kalian,
Jordyann, Nofrero, dan - tentu saja -  kau.

Sepi
By Rafa J
Di sana aku duduk
Termenung, sendiri
Berbisik kepada angin
Mengharap jawaban
Yang takkan datang

Senin, 03 September 2012

Puisi - Sang Pemusik

Untuk Jordyann, gitaris sahabatku. Ajarkan aku sebuah lagu :)
Untuk Nixie, Nel, Nat, dan Stella, para pemain piano. Kalian luar biasa!
Untuk Lunarise dan Nofrero, Nikmati musikmu...

Sang Pemusik

By Rafa



Jarimu menari
Di atas senar
Segala nada mengalir
Indah

Terkesima,

Begitukah caraku menatap?

Pesona tak terelakkan

Melalui suaramu

 
Jari menekan, tangan memukul

Tetap menari

Berganti suara

Oh, apa yang mustahil bagimu?


Andaikan ku tahu

Tak ada suara,

Tidak satupun,

Dinikmati olehmu




Senin, 27 Agustus 2012

Cerpen ~ Dia Kembali...

Untuk Sh, terima kasih atas inspirasinya
Hei, JYH, lagumu keren, sumber ide yang bagus :)
Pembaca, silakan meresapi cerpennya... semoga kalian menyukainya!


Dia Kembali...
By RafaJ

“Aku harus pergi. Akankah kau merindukanku?”
Sudah satu tahun sejak aku mendengar kalimat itu darinya. Tidak ada lagi teman yang bisa kuajak untuk bersepeda bersama. Entah mengapa, aku merindukan rutinitas itu – datang ke rumahnya, mengetuk pintu, dan langsung mengantarnya menuju sekolah.
Aku ingin mendengar suaranya lagi, namun aku terlalu takut untuk menelepon. Apa yang harus kukatakan padanya setelah sekian lama berpisah? Lagipula, perpisahan kami tidak berlangsung dengan indah. Hal itu berlangsung dengan sangat menyedihkan. Akankah aku masih memiliki keberanian untuk menatapnya jika ia kembali?
Satu hal yang belum kusadari hingga kini adalah, dia akan selalu mengingatku.
Aku mengarahkan mobil sambil terus memikirkan dirinya. Aku tidak peduli ke mana tujuanku, hanya ingin menghindari semua kenangan antara aku dan dirinya. Ah, perpisahan memang selalu menyakitkan, terlalu menyedihkan untuk diingat.

Aku menepi saat melihat bangunan di hadapanku. Bandara. Apa yang mengarahkanku untuk pergi ke sana? Pasrah, aku mencari tempat parkir, membiarkan kakiku turun dari mobil, dan menuntunku sesuai kehendaknya.
Aku tidak pernah menyangka pemandangan selanjutnya akan mengejutkanku.
Dia ada disana. Menungguku.

Aku tidak lagi bisa berpikir jernih. Berlari menghampirinya secara tak sadar. Hingga aku tepat berada di hadapannya.
 
Jordy...”
Ia memanggil namakku dengan terkejut.  Dia mengingat namaku! Masih dengan setengah sadar, aku tersenyum padanya, membalas panggilannya. Aku tidak menyangka apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku memajukan tubuhku, dan memeluknya.
Aku memeluknya erat-erat, seakan tidak akan pernah melepaskannya lagi. Ia masih terpaku, terlalu terkejut melihat kedatanganku. Tetapi, pada akhirnya, ia juga membalas pelukanku.
“Aku merindukanmu...”
... Kami mengatakannya bersamaan.

Kamis, 09 Agustus 2012

Mengenang Nagasaki 9 Agustus 1945

Mengenang Nagasaki 9 Agustus 1945

by Rafa


Membuka mata, melihat segala
Debu, abu, bertebaran dimana-mana
Tanah tandus tak bersisa

Membuka mata, menatap nanar
Sekeliling hancur, bersisakan pasir
Seperti inikah akhirnya?

Taman yang dahulu indah
Kini rata dengan tanah
Hancur dalam hitungan detik

Sabtu, 21 Juli 2012

Puisi - Sampah dan Hijau

Sampah dan Hijau

By Rafa



Styrofoam, plastik, dan kaca

Melambai jatuh jauh di jalan

Menggunung, tak teruraikan

Bahkan dengan air mata




Hutan, sungai, bahkan lautan

Hilang tak berbekas

Lenyap, hitam menelan

Hanya berkas tak berguna



Bukan hanya di kotaku

Tapi di seluruh dunia

Akankah kamu

Peduli padanya?




Hijau, Hijau

Warna yang langka

Kemanakah semuanya?

Akankah hancur begitu saja?



Bangun, Bangunlah!

Kemanakah semua manusia?

Saat bumi membutuhkan kita

Akankah kita lari darinya?

Minggu, 15 Juli 2012

Cuplikan


 “Aku menyerah! Sudahlah, lupakan saja pondok jelek milik ranger itu! Sebaiknya kita kembali ke Istana yang tadi. Bangunan itu jauh lebih nyaman.” keluh Randy.

Nevada tersenyum mendengar Randy menyebut-nyebut tentang istana Arminasai. Ia membayangkan bangunan yang baru saja ditinggalkannya itu. Sangat megah, penuh dengan hiasan-hiasan indah. Namun, senyumannya buyar ketika ia sadar lagi tentang apa yang sedang mereka hadapi sekarang. Ia mendengar Randy kembali mendengus kesal, mengeluh panjang lebar seperti biasa.

                “Cerewet banget sih. Sebaiknya bantu kami mencari jalan menuju  ke rumah itu, agar kita bisa cepat menemukan jawaban dari teka-teki ini.“ tukas Nevada.

                Randy hendak membalas, namun segera dihentikan Caesar. “Sudahlah. Bila kalian terus bertengkar, kapan kita akan sampai?” Ia kembali memperhatikan peta ditangannya. Akibat teguran Caesar, kedua temannya diam. Mereka otomatis ikut memperhatikan peta tersebut. 

                “Menurutmu, apa arti tanda ‘v’ di sini?” tunjuk Randy ke tengah peta. 

                “Sepertinya sebyah kode rahasia.” jawab Nevada.

                “Menurutku bukan. Mungkin saja itu hanya menunjukkan perpotongan 2 jalur.” sanggah Caesar  yang simple-thinking.

 “Teman-teman! Lihat!” Tiba-tiba Nevada berseru. “Ada sebuah lingkaran kecil di tengah v ini.”

                Randy tertegun. Ia menatap jalan di depannya, lalu menatap peta itu lagi. Matanya membulat, seakan-akan terkejut oleh sesuatu.

Caesar yang menyadari reaksi aneh Randy bertanya, ”Apa yang kamu temukan?” tanyanya.

“Apakah kalian sadar, bahwa kita telah melewati jalan ini?” Randy balas bertanya.

“Sepertinya belum.” Kata Nevada sambil mengerutkan keningnya, berusaha mengingat.

“Jalan ini sudah kita lewati!” Randy bersikeras. “Lihat,”  katanya sambil menunjuk sebuah semak didekatnya. “Aku ingat, sebab tadi aku sempat memperhatikan bentuk semak itu.”
“Bisa saja ada semak lain yang bentuknya sama,” sanggah Caesar. 

“Tidak, aku yakin ini jalan yang sudah kita lewati!” Kata Randy. Ia mulai kesal karena sejak tadi tidak ada yang mempercayainya. 

“Apa buktinya?” Caesar membalas. 

Muka Randy berubah bertambah merah. “Aku tidak tahu!” teriaknya frustasi. 

Caesar baru saja akan tersenyum penuh kemenangan ketika tiba-tiba Nevada menimpali, “Mungkin saja dia benar.”

Caesar menatap Nevada. “Sejak kapan kau jadi bersekongkol dengannya?” tanyanya dengan ekspresi terkejut. Randy yang sedang tersenyum bangga berubah raut mukanya. Sedangkan Nevada yang sebenarnya berlaku abstain, hanya mengangkat bahu.

Sekarang tatapan Randy beralih pada Nevada. “ Mengapa kamu bisa bilang begitu?” Randy yang tadi dimenangkan juga ikut mengganguk, meminta penjelasan temannya itu. Keduanya menatap Nevada tajam.

Nevada yang merasa risih akibat perilaku kedua temannya segera menjelaskan apa yang ada di pikirannya. “Begini. Randy benar. Menurutku ada kemungkinan kita berputar-putar dari tadi. Mungkin, kita terperangkap semacam ilusi. Bila pendapatku benar, mungkin sejak tadi kita berputar-putar di lingkaran ini.”

Caesar diam, memalingkan wajah dari Randy. Sementara Randy kembali tersenyum karena merasa menang, dan melempar tatapan terima kasih pada Nevada.

“Cih. Mungkin saja kepalamu terkena ilusi juga.” Kata Caesar keras kepala.

“Bila peta ini benar-benar salah satu peta berharga Klaos, ilusi takkan mempengaruhinya. Kurasa peta ini benar-benar menunjukkan keseluruhan hutan Alaira.” Balas Nevada ringan.

“Betul!” Kata Randy senang. Nevada memberinya tatapan 'berisik-kau' dan senyuman Randy segera hilang dalam sekejap.

“Ehem. Maksudku, bila kita terus-menerus mengikuti jalur ini, kita hanya akan membuang-buang tenaga dan makanan.” Ujar Randy dengan lebih diplomatis. Ia paling benci jika Nevada memberinya tatapan menghina seperti itu.

Nevada menghela napas panjang. “Terima kasih telah memberitahu kami hal tersebut. Itu akan sangat berguna kalau otak kami tertinggal di jalan.” sindirnya sarkastis.

Kini giliran Randy yang menatapnya dengan sinis, dan tatap-menatap itu terus berlangsung hingga akhirnya desahan Caesar menghentikan mereka. 

“Teman-teman, sepertinya aku menemukan petunjuk.” Gumam Caesar 

Nevada dan Randy segera menatap Caesar. “Ingat, sekuat apapun ilusi tersebut, pasti ada kelemahannya. Sekarang tugas kita adalah menemukan kelemahan tersebut.”

"Bukankah kau berkeras bahwa itu bukan ilusi?" Tanya Randy, menyindir Caesar. 

“Ilusi. Lingkaran. Ah,” gumam Nevada, berpikir mencerna ucapan Caesar. “Berikan peta itu padaku.” Pinta Nevada pada Randy, yang langsung menyerahkannya tanpa banyak bertanya.

“Perutku keroncongan,” gumam Randy lebih kepada dirinya sendiri.
“Caesar, apakah di kantong serbaada-mu ada taco? Dengan bubuk cabai, kalau bisa. Oh, dan de-“
“RANDY! Kau jenius! Kemarikan bubuk cabai itu!” Nevada langsung merampas sekantong kecil bubuk cabai dari tangan Caesar, yang baru saja mengeluarkan bubuk cabai itu.
“Kalian lihat, simbol V itu? Dengan lingkaran di tengah? Kita betul-betul terjebak di lingkaran itu! Dan, menurut skala peta aneh ini yang  –oh, ya ampun!- selalu berubah, kuperkirakan batas lingkaran itu adalah lingkaran semak unik yang dihafalkan Randy tadi.” Jelas Nevada pada teman-temannya.

“Hei, aku tidak menghafalkan,” protes Randy. Tapi sepertinya protes itu tidak dihiraukan, karena Nevada langsung meniup bubuk cabai itu ke arah semak. Dan ajaib, semak besar itu membelah, membuka jalan bagi mereka. Bahkan Randy pun takjub melihat hasil karya Nevada barusan.
Nevada tersenyum, bangga akan jerih payah pemikirannya sendiri. Mata Caesar terbuka lebar, sementara mulut Tod terbuka dengan sangat lebar. Nevada menahan tawa melihat ekspresi kedua temannya yang aneh.
“Kenapa? Kalian tidak ingin menemukan menara pengawas itu?” Kata Nevada sambil tersenyum. "Othrys dan Terra memang agak mengesalkan, aku tahu. Tetapi kita harus pergi ke sana."

Caesar yang sedari tadi bengong mulai sadar. Ia segera membantu menyadarkan Randy dengan menutup mulut temannya itu.

“Hmm.. Bukan begitu.” Kata Caesar sambil nyengir kuda. “Kenapa kau harus menggunakan cabai bubuk? Pasti Randy tidak akan mau memakan taco-ku tanpa cabai.”

Randy mengerutkan keningnya. “Ya. Tapi kan masih ada cabai yang tersisa. Aku masih bisa makan taco-mu, kok, Caes.”

Caesar menatap Randy, walaupun tatapannya lebih mirip tatapan frustasi. Seakan-akan Caesar ingin berkata ‘Bisa tidak untuk sekali saja kau memberikan komentar yang penting?’.

Sayangnya Randy yang tidak peka mengabaikan tatapan tersebut dan mulai memakan taco Caesar.

“Harusnya, bubuk perak lebih efektif mengungkap jebakan. Atau bijih platinum. Tapi aku yakin kau tidak punya itu. Makanya, aku menggunakan cabai bubuk.” Jelas Nevada. “Aku pernah mendengar dari nenekku kalau ilusi memiliki trik tersendiri untuk diungkapkan.”

Caesar mengangguk-angguk mengerti. “Kau pintar sekali,” pujinya. “Tidak salah, ya, kau memimpin misi.” Nevada hanya tersenyum mendengar pujian itu.

“Kemang-kemang, wihakh!” Randy berusaha berbicara, namun cukup sulit bagi teman-temannya mengerti omongan sesorang yang sedang mengunyah Taco. Randy menunjuk-nunjuk  ke arah semak yang terbuka tadi. “Semaknya mulai menyatu!” katanya setelah bersusah payah menelan utuh Taco yang setengah dikunyah.

Nevada dan Caesar berpandangan sebentar, lalu segera berlari ke semak itu. Tepat saat Randy menyusul mereka, semak tertutup rapat, kembali menjadi ilusi yang menyesatkan para pengembara hutan.

“Ah. Semaknya tertutup. Kudoakan semoga pengembara lain seberuntung kita.” Ujar Caesar sedih. Nevada berkonsentrasi kembali pada petanya, dibantu Randy. “Kau lihat, garis disana berubah! Hei, gunungnya hilang!”

“Bukan hilang,” Jawab Randy sambil menoleh ke belakang. “Itu gunungnya, tepat di belakang kita. Peta Klaos menunjukkan contour gunung Solmont.” Kali ini, ganti Nevada yang menganga lebar. Caesar melotot, seperti yang dilakukannya barusan.

“Jadi itu bukan langit, melainkan gunung berbatu kuning.” Gumam Nevada kagum. Ia mengamati peta dan terpaku pada pertemuan beberapa garis di suatu titik. “Ada yang bawa tali?”

Caesar mengeluarkan tali sepanjang lima belas meter dari tasnya. “Tasku memilikinya. Tidak panjang, tapi cukuplah.”

“Bagus,” kata Randy senang. “Kita akan memanjat ke atas sana.” Ia menunjuk ceruk yang nyaris tak terlihat di salah satu sisi gunung berbatu kuning itu. Nevada memicingkan mata dan berjalan ke arah kiri.  Caesar menyusulnya. “Hei, kau mau ke mana...” Ucapan Caesar terhenti begitu ia melihat tebing raksasa yang amat tinggi di arah kiri. “Wow.” Gumamnya kagum sekaligus ngeri. “Jangan bilang kalau kita akan memanjat itu.”

“Hanya delapan meter, bung.” Jawab Randy sekenanya. “Gunung ini tidak memiliki tebing setinggi itu. Lagipula, kita hanya ingin sampai ke gua itu, kan?” Caesar gemetaran melihat ceruk yang ditunjuk tadi. Ia kembali menoleh pada Randy. “Kau bercanda.”

“Itukah menara pengawas?” Tanya Nevada lebih kepada dirinya sendiri.

“Gua pengawas, Nev.” Timpal Caesar. “Bukan menara.” Nevada hendak membalas, namun sebuah suara bergaung di kepalanya.

‘NEVADA! Dimana kau?’ Suara Nico memenuhi pikiran Nevada. Otomatis, Nevada memegangi kepalanya. 

“Nev...” Randy dan Caesar berbarengan menegur Nevada. Jelas saja mereka heran, Nevada tiba-tiba saja memegang kepalanya. Namun teguran tersebut tidak dihiraukan oleh Nevada.

“Nico, dimana kau? Aku di gunung Solmont. Gunung kuning ini benar-benar aneh.” Nevada bersuara pada dirinya sendiri sehingga Caesar dan Randy menatapnya dengan bingung.

‘Di tepi teluk Naire. Gua Albatar. Bersama Rey dan Vulkan. Aku... harus kembali.’ 

“TUNGGU!” Nevada berteriak dengan keras sehingga Caesar yang berdiri di sebelahnya berjengit kaget. Namun terlambat. Nico sudah memutuskan telepati. Nevada mendesah. Saudaranya ada di Albatar. Sedangkan dirinya di Solmont. Utara dan timur, dua arah yang jauh berbeda. Hebat.

“Gunung koral itu... Ah, sial. Ia jauh sekali dariku.” Gumam Nevada.

“Saudaramu?” Tanya Randy memastikan. Nevada mengangguk. “Sudahlah. Mari mulai memanjat.” Kata  Caesar tanpa ambil pusing. Randy mengikat tali ke tubuhnya sebelum mulai memanjat dengan tangan. Kelihaiannya memanjat memang patut diacungi jempol. Nevada memperhatikan caranya memanjat dengan seksama.

Sampai di ceruk terdekat kira-kira tiga meter di atas kepala Caesar, Randy menambatkan talinya kepada sebuah batu besar yang melengkung.

“Nevada, naiklah!” Seru Randy. Nevada menambatkan tubuhnya dan tubuh Caesar ke tambang, dan mulai memanjat. Caesar sudah memanjat di atas Nevada, karena anak itu takut ketinggian. Nevada berada dibawahnya agar jika terjadi apa-apa, ia bisa membantu mendorong Caesar ke atas. 

Sesaat, Caesar memanjat ke atas dengan cepat. Tapi lama-lama, ia merasa dirinya pegal melihat ke atas  terus-menerus. Otomatis, ia menengok ke bawah, dan langsung merasa lemas.

“Jangan lihat ke bawah, bodoh!!” teriak Nevada kesal. Ia menampar kaki Caesar agar anak itu kembali memanjat.

“Aduh! Sakit tahu!” Omel Caesar sambil berusaha memanjat kembali. Tapi berkat pukulan itu, ia merasa lebih berkonsentrasi dibanding sebelumnya.

-_-

“Kalian lambat sekali!” Randy mengejek kedua temannya karena ia sudah tiba diatas duluan. “Lihat, pemandangan disini bagus sekali–“. Kata-kata Randy terputus. Kedua temannya merasa heran, sebab jarang sekali ada hal yang dapat membuat Randy menutup mulutnya. Kalaupun ada, itu bisa berarti dua hal: Apapun itu yang baru saja Randy lihat sangat mengagumkan, atau ada sesuatu yang sangat menyeramkan terbentang dihadapan mereka.

Sebelum Nevada sampai di atas, tiba-tiba saja ia merasakan kelembapan yang diluar kewajaran. Ia pun segera tahu, Nico sedang berada di tempat yang basah. ‘Nico?’ Panggil Nevada ssecara telepatis, berharap Nico masih bisa mendengarkannya. ‘Aku di air...’ Jawab suara Nico di kepalanya. 

‘Air?’ tanya Nevada balik. ‘Dimana kamu sebenarnya?’

‘Ak-a-aaaah!’ Nico menjerit, menyebabkan Nevada sakit kepala.

“Nev? Kau tidak apa-apa?” Tanya Caesar sambil mengulurkan tangan untuk membantu Nevada naik. Sepertinya ia khawatir melihat Nevada terus memegangi kepalanya. “Ayolah. Kita sudah dekat dengan Orthys dan Terra.” 

“Aku benci penguasa elemen tanah,” Gumam Randy pelan, tetapi kedua temannya dapat mendengarnya. Jelas saja Randy membenci tanah – lawan dari elemen yang dikuasainya. Ia kan penguasa angin.

“Sama.” Jawab Caesar datar. “Banyak makhluk keras kepala yang tidak ingin kutemui di sini.” Randy sempat mendengar Caesar menggumamkan sesuatu, namun ia tidak dapat mendengarnya dengan jelas. “Ayo, cepat. Kita tidak mempunyai banyak waktu.” Caesar mengingatkan, kambali dari lamunanya tadi. Kedua temannya segera bergerak, semuanya dipenuhi pikiran masing-masing.

 Sepertinya Nevada sudah pulih dari kekagetannya, namun kini ia dipenuhi kekhawatiran akan saudaranya. Ia mencoba memanggilnya berkali-kali, tapi tak satupun berhasil. ‘Semoga ia baik-baik saja,’ harapnya dalam hati.

=]

“Aduh...” Nico memegangi kepalanya. Sepertinya ia terjatuh cukup keras tadi. Untung, ia jatuh ke air sehingga sakitnya teredam.

“Hei, untung kau sudah memakai helm aques. Kepalamu mungkin akan pusing sebentar, tapi secara keseluruhan kamu akan baik-baik saja. Vulkan mendorongmu terlalu keras tadi.” 

Rey mengamati Nico dari kepala hingga kaki untuk memastikan bahwa anak itu baik-baik saja.

Vulkan hanya mencibir tidak suka melihat cara Rey menyindirnya. “Aku benci air,” gumamnya kesal.

Rey mengerutkan keningnya. “Memangnya ada apa dengan air?”

“Akan kubakar kau begitu aku kering! Dasar tidak peka,” Vulkan langsung emosi. Nico mendesah pelan mendengar kedua temannya mulai bertengkar.

“Tenang saja, nanti kita juga akan mendaki gunung aktif. Itu wilayahmu, kan, Vulkan?” Rey berusaha tetap tenang, padahal dirinya tidak terlalu menyukai api.

Vulkan mengangguk. “Benar juga.” Gumamnya. “Ya sudah, kita  sudah terlanjur basah, lanjutkan saja.” Ia menengok pada Nico. 

“Oke. Rey, petanya masih kau bawa, kan? Kita harus ke istana Neptunus untuk mendapatkan akses ke gua Albatar.” Kata Nico sambil berusaha menghubungi Nevada secara telepatis. “Sial, sinyalnya jelek sekali, sih!” Makinya, kesal karena hubungan telepatisnya terputus-putus.

‘Apa?’
‘Sol-‘
‘Hah?’
‘Kristal.’
‘Dengan siapa,-’
‘Orthys. Terra.'
'Dimana,-’
‘Apa?’
Hening.

‘Nev? Nev!’ tanya Nico sekali lagi, sambil kembali berusaha benghubungi saudaranya itu. 'Gagal.' gumamnya frustrasi.

=]

"Randy, aku mau lihat petanya," Nevada memiringkan kepala ke arah peta yang dipegang Randy. Tangannya masih kebas akibat memanjat tadi. Sedangkan Caesar... ah, kali ini dia beruntung karena bisa sampai dalam keadaan sadar ke gua itu. Sebagai ahli mantra yang culun dan takut ketinggian, itu sudah merupakan sebuah prestasi tersendiri baginya.

Randy menyerahkan peta pada Nevada dan memberikan air minum pada Caesar untuk menenangkan anak itu.

"Lihat, petanya berubah." Kata Nevada. "Peta gua pengawas..."

"Othrys!" Seru Caesar tiba-tiba. Nevada dan Randy serentak menoleh khawatir ke arahnya, takut kalau-kalau ketinggian telah mengacaukan pikiran teman mereka ini.

Tiba-tiba Nevada juga menegang. Secara insting, ia meraih Valanite - pedangnya - dari sarungnya dan menyiagakannya di tangannya. Kini tinggal Randy yang masih terbengong-bengong. Indranya memang tidak peka terhadap perubahan pada tanah.

"Tanahnya bergerak. Dari dalam gua." Ujar Nevada pada Randy, menjelaskan situasi. "Di peta memang tidak ada, tentu saja. Ini perbuatan Othrys, dia ingin menguji kita."

=]

"Tunggu, berusan kau bilang istana Neptunus, ya, Nico?" Tanya Rey tiba-tiba dengan kaget. Wajahnya mendadak pucat. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya dari Vulkan dan Nico selama ini. Rey tidak seharusnya takut pada dewa penguasa laut. Rey sangat menyukai air, karena air sangat mendukung bakatnya sebagai penyihir penyembuh.

"Ya. Memangnya kenapa?" Tanya Nico heran. Rey hanya menggeleng dan menunjuk ke arah timur. Hutan ganggang terhampar luas  di depan mereka.

"Kita harus melewati itu?" Tanya Vulkan sambil menganga tak percaya. Helmnya nyaris kemasukan air karena ia - tanpa sadar - membuat helm itu menjadi panas.

Rey tidak mengangguk. Ia juga tidak menggeleng. Banyak makhluk licin yang tidak ingin ia temui disini. Tetapi demi teman-temannya, ia harus berani. Ia berenang maju, menembus hutan ganggang.

"Tetap bersamaku, jangan berpencar. Kita harus menghadapi sesuatu yang amis." kata Rey memberi peringatan.

"Sesuatu yang - apa?!" Nico tercengang ketika tiba-tiba sebuah trisula melesat di depan wajahnya. Vulkan dan Rey langsung siaga. Nico baru saja akan meraih belatinya - Chypronicous - saat terbersit di pikirannya bahwa belati itu belum memilihnya. Ia tidak akan bisa menggunakan belati itu sebelum senjata itu memilih dirinya.

Nico mendengus kesal. Sekarang ia hanya memiliki tubuhnya untuk bertarung.

SET! tiba-tiba sebuah trisula mendarat di depan kakinya.

"Bangsa duyung adalah makhluk yang adil. Ambillah senjata itu, Nico." Kata seseorang dari balik sehelai ganggang besar. Rey langsung menegang, sementara Vulkan tampak bengis sekali. Nico celingukan, mencari sosok orang yang telah mempersenjatainya.

"Halo, Rey. Senang bertemu denganmu lagi." Kata sesosok duyung dari balik ganggang itu. Rey langsung menunduk, enggan menatap pria duyung berekor tiga di hadapannya.

"Triton," Ucap Vulkan kesal. "Kau mengenalnya?" Tanya Nico pada kedua temannya.

"Kita pernah bertemu sekali." Ujar Vulkan pahit.

"Bukan pertemuan yang menyenangkan, kurasa." kata Triton menyetujui.

"Bagaimana denganmu, Rey?" Tanya Nico, beralih pada Rey.

"Oh, dia sempat menjadi orang yang paling kusayangi." kata Triton ringan. Wajah Rey langsung merah padam, sementara Nico mengerjap tidak percaya.

"Bawa kami pada istanamu, Triton." Ucap Rey pedas. "Kami perlu menghadap Aria dan Neptune."

"Perlukah?" Triton mengamati ketiga orang asing itu dari kepala hingga kaki. "Kau merindukan Aria, kakakmu, Rey?"

=]

"Sudah kuduga, kerangka!" Ujar Caesar setengah mendesis. "Othrys benar-benar kejam. Menggunakan sihir hitam untuk menguji kita."

"Necromancy," Ujar Randy menyetujui.

"Oke, tiga detik untuk berdiskusi. Bagaimana caranya kita bertiga mengalahkan sepasukan kerangka?!" Caesar tampak panik. Ia memang tidak pernah melawan ilmu hitam yang sekuat ini sebelumnya.

"Sepertniya hanya ada satu cara," Nevada yang berpikir cepat langsung menyambar apa adanya. "Kita kalahkan sang penyihir. Aku dan Randy menembus kerangka itu seentara Caesar menemukan sumber sihirnya."

"Oke. Tiga detik selesai. Mari bertarung!" Randy menutup pembicaraan. Randy tetap menyandang busurnya dan menyiagakan belatinya. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa menghancurkan tulang-tulang itu dengan menembakkan panah ke arah mereka.

Nevada menerjang maju, masuk ke dalam gua. Jamur fosfor dan pedangnya, Valanite, memberikannya sedikit cahaya untuk penerangan. Tengkorak pertama langsung muncul di hadapannya. Nevada menebaskan Valanite dan memotong lurus tengkorak itu menjadi dua bagian yang simetris.

Randy segera menyusul Nevada. Keduanya membuka jalan bagi Caesar untuk masuk lebih jauh ke dalam gua. Nevada menjatuhkan tengkorak, sementara Randy menggunakan angin untuk meremukkan tulang-tulang yang hendak membentuk kembali. Memang hal itu tidak mencegah mereka untuk membuyar dan menyatu dengan tanah, tetapi itu akan memperlambat proses pembentukan kembali tengkorak itu.

Baru saja mereka akan bernafas sejenak, munculah sepasukan tulang dari dalam gua. Entah berapa jumlahnya, mereka tidak sempat menghitung. Nevada, yang sudah diajari ilmu angin oleh Randy, menggunakan udara untuk membantunya menambah kecepatan. Tetapi ia mulai kewalahan. Jika tadi ia hanya memotong tengkorak itu satu per satu, sekarang ia harus melawan empat atau lima sekaligus.

"AHH!" Nevada menjerit saat tangan tengkorak yang mengeroyoknya memukul ubun-ubunnya. Sebelum sempat berdiri, ia sudah dihajar oleh tengkorak lain yang memukuli bahunya. Kalau saja yang memukulnya bukan tulang, ia sudah pasti bisa bertahan. “Sial,” umpatnya. Karena keadaan tidak terlalu menguntungkan, ia memutuskan untuk mundur ke belakang.

"Randy, gunakan anginmu! Yang panas! Kekuatan penuh!" Teriak Caesar. Rupanya ia juga terhambat oleh beberapa tengkorak yang menghalanginya. Ia sedang melancarkan sihir-sihir air untuk meleburkan tengkorak itu. Tengkorak memang lebih sulit memebentuk setelah mencair.

=]

"Mundur semuanya!" Seru Caesar.

Sesaat sebelum Randy mengerahkan kekuatan, Caesar melempar sesuatu yang segera meledak di atas para kerangka. Lalu ia memanggil api, bersamaan dengan Randy yang mengerahkan angin agar menyapu gua itu sekuat-kuatnya.

Ledakan hebat terjadi tepat setengah meter di hadapan mereka, dan memanjang hingga lima belas meter ke depan. Bagian dalam gua hangus sepanjang area ledakan, dan membakar jamur-jamur fosfor. Ternyata, Caesar melemparkan parfum dan memecahkan wadahnya di udara. Api membakar parfum itu dan angin berhawa panas membuat apinya menyebar, menghanguskan tengkorak-tengkorak yang ada. Kini tinggal lima tengkorak lagi yang tersisa.

Randy langsung lemas setelah mengerahkan tenaganya. Belum pernah ia memanggil angin sepanas dan sekencang itu. "Ternyata mengeluarkan Wedhus gembel (awan panas) dalam skala besar itu melelahkan..." Keluh Randy.

"Barusan kau menggunakan apa untuk membuat udara panas itu, Caes?" tanya Randy sambil berusaha mengidentifikasi bau gosong yang menyebar di udara.

"Parfum Guess. Aku tidak sengaja melihat Arnaraz meletakkannya di atas meja di Istana. Maka, aku mengambilnya." kata Caesar sambil terduduk. Bahkan Randy tidak mengejeknya karena melakukan hal aneh tersebut : mencuri parfum mahal dari seorang ranger yang tidak pernah berbelanja di mall sebelumnya.

Nevada berusaha bangun setelah digebuki tulang-tulang menyebalkan itu. "Sisanya bagianku." Ujarnya ringan sambil memutar Valanite. Ia langsung kembali siaga, memotong dan mencacah kelima kerangka. Terakhir, ia meremukkannya dengan sihir ilmu bumi yang diajarkan Caesar padanya.

"Haaah, aku ingin istirahat!" Ujar Randy setelah semua tengkorak itu dibereskan. "Kita harus masuk lebih jauh lagi." Kata Caesar yang tidak terlihat lelah. Barangkali ia menyembunyikan kelelahannya. Nevada tahu, memanggil sihir api bukan perkara mudah. Bahkan, jauh lebih mudah memanggil elemen air daripada sihir api.

"Eh..? Bukankah tadi kita baru masuk beberapa meter?" Tanya Nevada. "Sekarang kita sudah jauh di dalam gua!"

"Iya juga,” gumam Caesar.

“Mungkin kita terlalu sibuk melawan tengkorak-tengkorak itu sampai tidak sadar sudah sejauh ini.” kata Randy ringan. “Sebaiknya kita beristirahat sebentar.”

Karena gua tersebut lumayan gelap, Nevada berusaha memanggil cahaya dan membuat Valanite bersinar. Sementara itu, Caesar sibuk mengeluarkan pizza dari kantungnya dan Randy sedang mencari batu yang cocok untuk dijadikan alas duduk bagi mereka bertiga. Baru sebentar setelah mereka duduk dan menikmati pizza, Randy melihat sekelebat bayangan di pertigaan gua.

:]

Nico tampak terkejut, sedangkan Vulkan mengangkat sebelah alisnya. “Kakak?” tanya Nico kaget. “Jadi Aria itu kakakmu?” tanyanya lagi.

“Huh. Aku tidak heran bahwa kita tidak bisa akur sejak awal.” Vulkan mendengus.

Rey melihat teman-temannya bersikap begitu menjadi salah tingkah. “ Bukan begitu... sebenarnya aku bermaksud mengatakannya kepada kalian. Tetapi sebelum sempat kukatakan, ada yang mendahuluiku,” katanya sambil menatap tajam Triton, yang pura-pura tidak tersindir.

Menyadari tatapan kedua temannya yang meminta penjelasan lebih lanjut, ia berkata,” Sudahlah. Panjang ceritanya. Kita lanjutkan sambil berjalan. Sekarang, Triton, bawa kami ke tempat Aria.”

Bukannya menunjukkan jalan, Triton malah balik bertanya. “Jika aku menolak?” katanya dengan nada menantang.

Jawaban Triton tersebut sepertinya merupakan ‘tanda’ bagi Tim Nico untuk segera menyiapkan senjata masing-masing. “Jika kau menolak,” kali ini Vulkan angkat bicara, “maka kita harus menggunakan cara lama.” Katanya sambil berpura-pura melemaskan tangannya, bersiap untuk menyerang.

Triton langsung sadar diri. Pasukannya, para Mershark (Pasukan Elite para duyung), berada terlalu jauh darinya. Jika ia menantang Vulkan secara gamblang, sudah pasti ia akan menjadi korban amarah Vulkan. Ia belum ingin mati, apalagi mati konyol di tangan Vulkan. Akhirnya ia mengangkat kedua tangannya  dan berkata, “Hei, aku hanya bercanda. Ayo kutunjukkan tempat Aria berada.” Ia berenang lebih dahulu, sementara Tim Nico mengkuti dari belakang.

Selama beberapa saat Nico, Vulkan dan Rey berenang dalam diam. Akhirnya Nico mencoba membuka percakapan. Ia bosan berenang dalam diam seperti itu. “Jadi, apa hubunganmu dengan keluarga kerajaan air?”tanyanya penasaran.
Rey menjawab pelan,”Yah, seperti yang sudah kubilang, Aria adalah kakakku. Ia adalah salah satu tabib istana, dan istri Triton. Jadi bisa dibilang, bahwa ia adalah putri di kerajaan ini.” Rey berhenti sejenak, membuat kedua temannya ikut diam menunggu penjelasan selanjutnya.
“mukanya mirip sepertiku, kecuali hidungnya yang–“

“Ayolah.. ini bukannya waktunya bercanda Rey.” Potong Vulkan dengan kesal.

Nico menatap Vulkan dengan waspada. Ia sangat mengerti bahwa tempramen Vulkan begitu tidak stabil, sehingga amarahnya bisa meledak kapan saja. Air adalah tempat terakhir di mana Nico mengharapkan Vulkan marah-marah sesukanya.

"Eh, umm..." Nico bimbang sejenak, lalu memutuskan untuk berbicara dengan Triton. Ia tidak mau memancing amarah Vulkan untuk yang kedua kalinya.

"Seperti apakah pasukanmu itu?" tanya Nico ingin tahu.
Trioton mengelus trisulanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan Nico, "Mershark, dengan nama itulah mereka dikenal. Salah satu dari beberapa kompi elite yang dilatih oleh ayahku sendiri, Neptune. Mereka adalah makhluk setengah duyung, karena tubuh atas mereka berwujud hiu."

"Hiu?!" Nico terperanjat.

"Ya. Mereka sangat tidak akur dengan Cyclops, kau tahu. Cyclops membenci keganasan mereka dalam bertarung." jelas Triton. Tampak jelas bahwa ia sangat bangga dengan pasukan Mershark yang dipimpinnya itu.

"Oke... Wow." Nico bergidik. Sepertinya, berenang dalam diam adalah hal terbaik yang seharusnya dilakukan di perairan Albatar yang berbahaya ini. Nico berusaha menghubungi saudaranya sekali lagi, secara telepatis.

'Nevada!' Panggilnya berulang kali.

=}

Sementara itu...

"GOLEM!!!" Teriakan histeris Randy cukup untuk mengagetkan Nevada yang sedang duduk-duduk santai di lantai gua. Pizza Caesar sampai terjatuh ke tanah.

"Bagaimana bisa kulupakan hal penting itu!" Maki Caesar sebal. "Aku belum mengalahkan necromancernya! Dia pasti sudah berhasil memulihkan tenaga dan membuat golem raksasa."

Caesar langsung memikirkan cara melawan Golem yang tingginya nyaris dua kali tinggi tubuhnya. Nevada sudah menyiagakan pedangnya, sementara Randy sudah bersiap memanggil angin puting beliung setinggi tubuhnya.

"Temukan saja aku," sahut sebuah suara dari dalam gua. Suara itu menggema ke sepanjang dinding gua, dan bergaung di kepala Nevada dan kawan-kawannya. "Jika kalian berhasil mengalahkan golemku, kalian akan menemukanku di tempat yang paling dijaganya."

"Diskusi tiga detik?" tanya Randy penuh harap. Tetapi si Golem memberikan jawaban dengan mengayunkan pukulan ke arah Nevada, yang berdiri paling dekat dengannya.

"Kurasa tidak sempat." Jawab Caesar. "Serang kakinya dengan anginmu, kakinya terbuat dari lumpur! Angin dingin ya!"

Randy memutar tangannya, membiarkan anginnya meluncur tepat mengenai kedua kaki golem itu dan membuat kaki-lumpur itu beku seketika. Nevada tetap meloncat-loncat meghindari pukulan si Golem. Caesar merapalkan mantra untuk mempertajam indranya terhadap tanah.

"Nev! Tebaskan Valanite ke mulutnya! Kertas jimat kehidupannya ada disana!" teriak Caesar sambil mengayunkan tongkatnya, berusaha memperlambat gerak si Golem agar Nevada bisa mendekatinya.

"Kertas jimat?" Tanya Nevada sambil menengok ke arah Randy. Si Golem rupanya mempergunakan kesempatan itu untuk memukul Nevada.

"Nev!" Randy berteriak sambil mengayunkan tangannya secara refleks. Angin kencang pun berhembus,  mengikis dan menghancurkan tangan raksasa si Golem yang hendak melayang ke aarah kepala Nevada.


=]


Sabtu, 23 Juni 2012

Cerpen - Kasih Sayang Ibu

Kasih Sayang Ibu

By Rafa

“Wan, kamu sedang apa?”


Pertanyaan itu terlontar dari bibir tante Nadia setiap jam tujuh malam, persis sebelum makan malam. Biasanya aku mengabaikannya, membiarkan tante Nadia dan ayahku makan malam tanpa diriku. Selama sebulan, hal itu terus berlangsung. Aku memang tidak mau berurusan banyak dengan tante Nadia. 'Toh ia bukan ibu kandungku.' Pikirku, berusaha mengabaikan perhatian yang diberikannya padaku.


Tapi kali ini berbeda. Aku tidak bisa lagi mengabaikan pertanyaan itu. Tidak setelah apa yang diperbuat tante Nadia kepadaku.


Sekarang aku sedang terbaring di ranjang keras milik rumah sakit di dekat rumahku. Tante Nadia dan Irfan, adik tiriku, setiap hari datang menjengukku. Menggantikan ayah yang seharian menjagaku. Aku agak terhibur dengan kedatangan Irfan, karena ia mencairkan suasana tegang di kamarku. Aku masih belum berani menatap tante Nadia. Atau, mungkin aku seharusnya memanggilnya ‘mama’.



“Bagaimana, Wan? Sudah merasa agak sehat?”
Begitu pertanyaan tante Nadia setiap kali ia menjengukku, jam tujuh malam. Pertanyaan itulah yang menggantikan kalimat yang biasa ia ucapkan di rumah.


Akhirnya aku memang menjawab pertanyaan itu dengan jawaban sekadarnya. Aku tidak sampai hati mengabaikan pertanyaan itu. Tetapi aku belum bisa menatap mata orang yang mendonorkan salah satu ginjalnya bagiku, murni atas dasar kasih sayang.

‘Ia hanya ibu tiriku.’ Pikirku, kesal akan kenyataan bahwa ia begitu menyayangiku. Tante Nadia tidak seharusnya menyayangi aku seperti ia menyayangi Irfan. Aku bukan anak kandungnya. Bahkan, seharusnya ia membiarkanku terkapar dengan kedua ginjal yang tidak berfungsi. Tetapi tidak, kenyataan berkata lain, dan aku tidak bisa mengubahnya.


Aksi diamku berlanjut sampai pada suatu hari, saat aku tidak bisa menahan keingintahuanku. Ayah sedang menemani Irfan di rumah pada waktu itu. Aku hanya ditemani oleh tante Nadia, yang selalu memperhatikanku dari waktu ke waktu layaknya seorang ibu mengurus anaknya. Aku tidak meminta perhatian itu. Aku bahkan merasa tidak pantas menerimanya.


Tante Nadia, seperti biasa, selalu mengambilkanku air minum, berkeras agar aku tidak bangun dari ranjang sampai pinggangku benar-benar tidak terasa sakit. Ia bahkan menyuapiku, meskipun aku yakin ia tahu bahwa aku bisa memegang sendok dengan tanganku sendiri.


Saat ia berkeras menemaniku hingga tertidur, aku tidak bisa mencegah bibirku untuk tidak mengemukakan pertanyaan terbesarku selama ini. “Kenapa tante begitu sayang padaku?” Tanyaku. “Aku selalu mengabaikan tante, tidak pernah menjawab pertanyaan tante jika tidak diperlukan. Kenapa tante tetap mau mengurusku?”


Tante Nadia terlihat agak bingung dengan pertanyaanku barusan. Mungkin ia tidak menyangka bahwa aku akan bertanya seperti itu padanya. Sebenarnya, aku juga tidak menyangka bahwa aku akan mengucapkan pertanyaan-pertanyaan itu.


“Irwan,” Ujarnya lembut. “Memang, kamu bukan anak yang lahir dari kandungan saya. Tapi saya mengurus kamu karena saya sudah menganggap kamu sebagai anak saya sendiri. Kamu sudah menjadi kakak yang baik bagi Irfan. Itu sudah lebih dari cukup. Saya tidak peduli kamu mengabaikan saya, yang penting kamu rukun dengan Irfan. Yang penting, kamu selalu bahagia.”


Baiklah. Bagiku, itu memang jawaban yang cukup memuaskan. Tetapi Tante Nadia belum menjawab pertanyaan utamaku. Maka aku mengulang pertanyaanku lagi, “Mengapa tante sayang padaku?”


Tante Nadia tidak perlu berpikir untuk menjawab, “Wan, meskipun kamu memanggil saya ‘tante’, saya memiliki kewajiban sebagai ibu kamu. Dan, Irwan, rasa sayang itu sebenarnya tidak membutuhkan alasan. Apalagi kasih sayang seorang ibu.”


Aku benar-benar memikirkan ucapan tante Nadia barusan. Dan, untuk pertama kalinya sejak tante Nadia menikah dengan ayah, aku menatap lurus ke dalam mata tante Nadia, yang balas menatapku dalam-dalam. Aku dapat melihatnya di sana. Kasih sayang. Ketulusan. Keinginan untuk mencintaiku sebagai anaknya.


“Saya sayang sama kamu, karena kamu anak saya, Wan.” Katanya sungguh-sungguh.


“Itu juga yang membuat tante mendonorkan ginjal padaku?” Tanyaku lagi, hanya untuk memastikan. Tante Nadia mengangguk sebagai jawaban.


Lalu, tana kuduga, tante Nadia memelukku. Atau, mungkin aku seharusnya memanggilnya ‘mama’ mulai saat ini. Pelukan itu membuatku benar-benar merasa dekat dengannya, sebagaimana harusnya hubungan seorang ibu dengan anaknya. Aku merasakan, pada saat itu juga, bahwa ia memang menyayangi aku apa adanya. Tidak peduli bahwa aku tidak lahir dari kandungannya. Ia memang menyayangi aku sebagai anaknya.

Menyadari itu semua, aku balas memeluknya. Tidak mempedulikan lenganku yang diinfus, ataupun pinggangku yang masih terasa sakit.


“Terima kasih,” bisikku. “Terima kasih untuk segalanya, mama.”


Kurasakan kelegaan yang luar biasa saat aku memanggilnya 'mama'. Aku menyadari, tante Nadia terisak bahagia dalam pelukanku. Aku sendiri tidak dapat mencegah senyum yang terbentuk di bibirku. Aku sendiri juga merasa bahagia. Bahagia karena aku memiliki ibu sebaik dirinya.

Siapa peduli bahwa aku bukan anak kandung Mama Nadia...?
Yang penting adalah, ia menyayangiku. Apapun adanya diriku.

Rabu, 20 Juni 2012

Cerbung - New Year, New Start! ~ By Nicks part 3

Untuk Rafa, KENAPA BARU KAMU POST, HAH?!
Anyway thanks editannya, Raf. Salam buat teman-teman kamu, ya.
Semoga kalian semua suka!

New Year, New Start!
By Nicks




          Setelah menunggu Alvian menyapa beberapa tamu lagi, akhirnya Thalia mengikuti cowok itu masuk ke sebuah ruangan yang sangat luas. Ruang terbuka dengan atap langit malam yang dihiasi kerlap kerlip bintang  itu sungguh membuatnya terpesona. Apalagi bintang-bintang terlihat lebih indah dan lebih terang dari biasanya malam itu.    
"Wow."
         Hanya satu kata itu yang mampu diucapkan Thalia ketika melihat ruangan tersebut.

         "Gimana? Cuma ada beberapa orang istimewa yang gua bolehin masuk ke sini.” jelas Alvian. “Welcome ke ruangan favorit gue, Tha.”

         Kali ini, semua kekaguman Thalia pada orang ini tumpah tanpa bisa ditahannya.

        "Gila, rumah lu keren banget! Gua ga nyangka ada tempat seindah ini di rumah lu... Kenapa bintangnya bisa terang banget? Dari tempat gue aja cuma bisa kelihatan satu. Itu pun kalo lagi beruntung!"

        Alvian hanya diam menatap gadis yang sedang berbicara didepannya itu dengan bersemangat. Lucu banget, pujinya tanpa sadar.

       “Tha, pengen tau aja,” Ujar Alvian tiba-tiba. “Kenapa lo barusan bengong terus di bawah?”

       “Oh, itu...” Muka Thalia berubah lesu. “Gue keinget sama mantan gue.”

        Alvian menatap Thalia dengan simpatik. “Lu mau cerita ke gua, apa sebabnya? Soalnya, kadang curhat bisa ngurangin kesedihan. Oke, gue tau gue baru ketemu lo hari ini, tapi...”

      “Gak apa-apa. Gue juga lagi pengen curhat kok.” Sambung Thalia sambil tersenyum kecil.

       Ia pun menceritakan segalanya kepada Alvian.

       Tiba-tiba ia melihat jam tangannya. "Tha, sini deh." ajaknya, mengentikan curhatan Thalia. Thalia menatap Alvian bingung.

       "Kenapa Vian? Kan gua --". Mendadak ucapannya berhenti ketika jari Alvian menyentuh bibirnya pelan.

      "Sst," Bisiknya. "Liat aja." Katanya sambil menunjuk ke depan.

       Ketika itu juga, sebuah cahaya berwarna merah melesat dari bawah dan meledak di angkasa, meninggalkan sedikit jejak api kecil berwarna-warni di belakangnya... dan hilang menguap di udara.

       Thalia menganga. Ia tidak menyangka, ternyata Alvian sengaja mengajaknya kesini untuk menonton kembang api bersamanya. Alvian menyentuh tangan Thalia dengan lembut.
       “Ayo, kita duduk aja.” Katanya, sambil menunjuk ke arah pinggir balkon.

       "Jadi lo ngajak gue kesini untuk..."

        "Nonton kembang api. Betul. Lu suka?" Sambung Alvian cepat. Thalia tidak perlu menjawabnya dengan kata-kata. Ia hanya tertawa. Matanya yang berbinar sudah menunjukkan segalanya pada Alvian.

        Ternyata warna tersebut hanyalah awalan dari warna-warna lain yang berlomba-lomba melesat ke angkasa, seakan-akan ingin mencapai jarak terjauh dari bumi.

       "Harapan." Kata tersebut tercetus entah kenapa dari bibir Alvian. Ia menegok ke arah Thalia yang ternyata sedang memandangnya dengan muka bingung dan ingin tahu.

        Sebelum Alvian sempat menjelaskan, terdengar seruan dari bawah.

        " 3..!"

       Thalia dan Alvian tersenyum senang.

        "2..!"
        Seru mereka berbarengan. Mereka berpandangan sesaat dan meledaklah tawa mereka.Tak lama kemudian, angka satu diteriakkan oleh seluruh pengunjung pesta.

        Ketika waktu tepat menunjukkan pukul 12 malam, Alvian membungkuk mencium Thalia cepat di pipinya. Tepat waktunya bagi kembang api terbesar --dan terakhir-- untuk meledak, menunjukan warna-warna indahnya kemana-mana.

        Thalia menatap Alvian dengan muka merah dan tepengarah --kaget-- dengan tindakan tiba- tiba cowok satu ini. Alvian juga menatap ke lantai, malu dengan tindakan spontannya yang tidak bisa dicegahnya itu.

        ‘Gila, gua kenapa tadi?!’ runtuknya dalam hati. Namun ia terkejut karena Thalia meraih tangannya pelan dan berbisik, "Harapan." Kali ini ia menatap Thalia bingung.

         Thalia menatap lembut ke arahnya dan berkata, " Tahun ini, gua bakal mencari harapan baru, semangat baru, dan teman-teman baru yang gua tau bakal membuat hari-hari gua semakin berwarna. Thanks ya, karena udah mewarnai hari pertama tahu baru gua dengan indah.". Alvian tersenyum hangat. " Sama-sama, thanks juga udah mau dateng ke new year party gue... hime*."

        "Hah? Apaan tadi?"

        "Bukan apa-apa.. Ayo turun, kita gabung ama yang lain. Nanti lu dicariin Jessica lho." Kata Alvian sambil mengulurkan tangan.

        "Oh iya.. Yuk!" sambutnya. Thalia menggenggam tangan Alvian lebih erat daripada sebelumnya.

Message : Tahun baru ini, aku akan mencari lebih banyak teman-teman baru, pengalaman baru, dan tentunya sesorang yang bakal melindungi aku dan menghargai aku apa adanya. Semangat!

 
*hime = putri --