Sabtu, 10 September 2011

Cerbung - Be Yourself, Kak! ~ Part 2

BE-YOURSELF, KAK! ~
Dio menggeleng setelah mencampakkan Reyhan begitu saja. “Nihil, Chard. Saku bajunya kosong.” Katanya. “Aku beneran nggak punya uang, kak.” Reyhan mulai berani. Kakakku memperhatikannya dengan tajam. “Hajar aja dia.” “JANGAN!” teriakanku memotong ucapan kakak. “RIAN?!” Kakak dan Reyhan mengucapkan namaku bersamaan. “Rey, pergi buruan. Sebelum lo diapa-apain. Dan lo,” Aku menatap marah kearah kakak. “Gue mau ngomong empat mata sama lo.” Kataku dingin, dengan tangan masih mengepal. Reyhan langsung lari ke kelas, sedangkan kakak membubarkan teman-temannya sehingga kita dapat bicara berdua saja.
“Ada apa?” Tanya kakak, seakan tidak ada kejadian apa-apa sebelumnya.
“Ada apa? ADA APA?! Kayaknya gue deh yang harus nanya gitu sama lo!”
“Ri, kakak bisa jelasin...”
“Jelasin apa lagi, hah? Kenapa lo bully Reyhan? Gak perlu. Semuanya udah jelas kan sekarang?!”
“Rian...”
“Dasar bullshit lo! Bego bener gue selama ini percaya sama lo! Ternyata lo itu emang keterlaluan! Gue tau lo ketua OSIS. Tapi apakah ketua OSIS akan tampak terpuji, gitu, kalo kerjaannya ngebully temen-temen gue?! NGGAK KAN?!”
“Ri, kakak melakukan ini sesuai kemauan geng, bukan kemauan kakak sendiri!”
“Kemauan siapapun itu, lo bisa bedain yang bener ama yang nggak!”
“Oke! Semua salah kakak.”
“Memang itu salah lo!”
“Terus apa mau kamu?”
“Gue nggak mau ngakuin lo sebagai kakak gue selama tindakan lo masih begitu!”
Kakak terlihat terperanjat sekali. Aku sendiri juga heran, mengapa aku bisa melontarkan kata-kata sekejam itu. Namun wajahku tidak berubah ekspresi, menandakan aku tetap pada keputusanku. PLAK!!! Kakak menamparku dengan keras, membuatku terhuyung ke belakang. Wajahnya menyiratkan rasa sakit hati yang dalam. Jelas ia marah besar karena kalimat yang kukatakan barusan.
“BAIK! Terserah lo! Gue ikutin aja apa mau lo. Gue juga nggak nyangka, kalo adik gue ini emang kurang ajar!” Katanya, setengah berteriak.
Aku meninggalkan kakak dan menuju ke kantin secepat mungkin. Aku malas berdebat lagi dengannya. Lagipula, kelihatannya kakak juga tidak peduli lagi denganku, si ‘adik-kurang-ajar’. “Hei, Rian! Sini!” Toni langsung memanggilku begitu aku tiba di kantin. “Hai, man! Hai Niar, Jani.” Aku menyapa teman-temanku semuanya dan langsung duduk disamping Daniar. “Lo dari mana aja, Ri? Kok bisa sampe telat banget gini?” Tanya Jani, yang rupanya tidak sabar menunggu kehadiranku. “Kita udah belajar duluan tadi, sampe bagian sini. Nggak apa-apa, kan?” Toni nimbrung. “Nggak, nggak apa-apa. Sori guys, tadi gue ada urusan sama kakak gue.” Aku mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit nada kesal. “Pipi lo... Lo abis ditampar ya?” Daniar rupanya memerhatikan pipi kiriku yang tadi ditampar kakak. Tanpa sadar aku merabanya. “Nggak apa-apa. Udah, lanjutin belajarnya yuk.” Aku mencoba mengalihkan topik agar teman-temanku itu tidak mengkhawatirkanku.
“Serius, Ri. Kalau lo kenapa-napa, mending ke UKS aja sana. Lo kok bisa sampe kena tampar gitu sih? Siapa yang nampar lo?” Toni rupanya benar-benar cemas dengan keadaanku. “Mau belajar nggak nih?! Kok malah jadi arisan, sih?” Aku keceplosan membentak Toni. “Yee... Kok malah marah? Gue khawatir, tau. Lo ada masalah apa sama kakak lo?” Toni menyabarkan diri, sadar akan sikapku, yang susah sekali meredakan emosi setelah dipanas-panaskan. “Bukan urusan lo. Udah ah, bubar! Lagian istirahat juga udah mau habis. Gue ke kelas dulu.” Dengan ketus aku mengakhiri pertemuan itu, dan pergi begitu saja, meninggalkan teman-temanku yang bengong menatap kepergianku.
Beberapa jam kemudian...
KRIIINGGG... Belpulang membuyarkan lamunanku. Aku menatap buku catatanku dengan pandangan pasrah. Lembar buku catatan untuk pelajaran sejarah tadi masih kosong melompong, tanpa tulisan sehuruf pun. Hanya saja pada satu sudutnya kugambari dengan gambar Ninja Hatori, satu-satunya coretan yang mengisi halaman tersebut. Pikiranku memang sedang kacau hari ini. Teguran guruku juga tidak aku perhatikan. Aku tidak bisa berhenti memikirkan pertengkaranku dengan kakak.Ini adalah pertengkaran serius kami yang ketiga, dan yang paling serius. Aku masih belum bisa melupakan pertengkaran kami yang terakhir. Selama satu bulan penuh kami tidak bertegur sapa. Bicara kalau hanya diperlukan saja. Bagaimana dengan perang dingin kali ini?
 “Rian. Pulang.” Kakak memanggilku seperti biasa dari balik pintu kelas. Bedanya, kali ini ia memanggilku dengan nada dingin. “Toni, gue pulang bareng lu aja, ya. Rumah kita kan deket sama sekolah.” Aku meminta pada Toni, mengabaikan kakakku seolah-olah ia tidak ada disana dan yang bicara itu hanya desiran angin. Kakak segera menatap tajam padaku. “Ayolah, Ton.” Bujukku. Toni melirik ragu kearah kakakku sekilas, lalu megangguk meniyakan. Maka sejak saat itu aku pulang sekolah dengan Toni selama sebulan penuh. Sebenarnya aku lebih suka pulang dengan kakak, namun mengingat pertengkaranku dengannya aku selalu naik darah.
Perubahan ini tentu saja mengherankan seluruh orang rumah, dan juga Toni. Ia tahu persis bagaimana kebiasaanku terhadap kakakku. Namun itu semua berubah tiba-tiba. Mau tidak mau aku menjelaskan semuanya pada Toni, serta orangtuaku, tentang apa yang terjadi. Aku dan kakakku langsung dimarahi habis-habisan oleh mama dan papa. Sayangnya, itu tidak membantu kami untuk berbaikan. Memang, kami tidak lagi berperang kata-kata seperti waktu itu, namun kami melakukan aksi perang dingin. Keadaan seperti ini kadang menyiksa batinku. Aku ingin kembali akur dengan kakakku seperti dulu, namun gengsi dan kenangan akan pertengkaran kami selalu berhasil mengurungkan niatku.
Tepat sebulan setelah pertengkaranku dengan kakak, mama dan papa pergi ke Surabaya selama lima hari untuk merawat tante Sila yang sedang sakit. Aku dan kakakku tidak bisa ikut karena kami tetap harus bersekolah seperti biasa. Tentu saja kami protes, apalagi kami sedang dalam keadaan bertengkar.Namun orangtuaku tetap pada keputusan mereka. Mereka tidak memperbolehkan salah satupun dari kami pergi ke Surabaya bersama mereka.
Dengan perginya orangtua, kami mulai sering meributkan hal-hal kecil. Misalnya, aku hendak menonton DVD, tetapi kakak ingin menggunakan layar TVnya untuk bermain komputer. maka kamipun saling membentak dan tidak mau mengalah sampai Mbak Sri, pembantu di rumah kami, melerai pertengkaran itu. Malah kadang, kami mulai main fisik. Makin kewalahanlah Mbak Sri, karena bagaimanapun juga ia pasti tidak sanggup menghentikan kami tanpa ikut terkena pukulan maut kami. Aku mulai bertanya-tanya, kapankah keadaan seperti ini akan berakhir? Sebenarnya aku sudah muak dengan suasana perang dingin ini.Tapi aku terlalu kesal untuk mengalah dan meminta maaf. Kan kakakku yang salah pertama kali. Mengapa harus aku yang meminta maaf?
                                                           O_o
Aku dan Toni pulang bersama seperti yang selalu kami lakukan sejak aku bertengkar dengan kakak. Namun hari ini kami memutuskan untuk pulang lebih lambat. Satu hal yang aku tahu, kakak selalu pulang lebih lama daripada aku sejak kami tidak pulang bersama. Aku tidak tahu alasannya, namun seharusnya ia sudah pulang sekarang. Hari ini ia ada les, sehingga tidak mungkin kakak masih menungguku pulang. Kami membeli es teh manis dan duduk di taman kecil yang sangat rimbun. Tempat ini tersembunyi sekali, sengaja kupilih agar kakak tidak dapat menggangguku. Namun, tak disangka, sepuluh menit setelah kami bersantai di tempat itu, sekelompok anak kelas tiga SMP datang. Mereka semuanya laki-laki, dan berperawakan preman. Sangar, kuat, dan kekar.
“MINGGIR LO! Ini pangkalan kita!” kata seorang anak yang kelihatannya paling kuat mengancam kami. “Lo denger kata bos gue ga? Pergi sana!” Seorang anak yang berkepala botak mendukung ‘bos’nya tadi. “Rian... Pergi yuk...” Toni berbisik padaku, ketakutan. “Apaan sih?! Kita tiba disini duluan. Terserah kita dong mau pergi apa nggak.” Aku membela diri, tidak mengindahkan ketakutan Toni. “Mo ngelawan lo?! Waahh, Bos! Rupanya ada anak kurang ajar yang berani nantang kita disini.” Seorang anak yang bertampang sengak menunjuk wajahku. “Pasti lo anak baru, deh. Udah, pergi aja.” Seorang anak yang memakai jaket berwarna biru tua meremehkan kami. Aku diam tak bergeming. “Coba usir gue.” Tantangku.

BERSAMBUNG...