Senin, 19 Desember 2011

Cerpen - Jawaban Sebuah Mimpi

Untuk Nixie,
yang memintaku membuat karya ini dan memintaku menamai tokoh utamanya Isabella
Maaf karena aku menggantinya manjadi 'Bella' saja. :)
dan Tentu saja teman-temanku, Bella dan Jason,
Terutama Veje,
Maaf karena aku meminjam nama kalian tanpa izin untuk dimasukkan ke dalam karyaku
Semoga kalian semua menyukainya.


JAWABAN SEBUAH MIMPI
Inilah Saatnya...
Aku melangkah ke panggung rendah itu.. Kupandangi kursi penonton yang padat satu per satu. Tetapi... Ah, benar. Ia tidak ada disana.
Bella menarik nafas sejenak sebelum memposisikan jari-jarinya di atas tuts piano. Inilah konser perdananya... dan mungkin yang terakhir kali baginya. Usia dua puluh satu tahun sudah merupakan mukjizat bagi penderita kelainan jantung seperti dirinya. Dan dalam momen istimewa ini, dari caranya memerhatikan bangku penonton dengan saksama, jelas ia sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin seseorang...?
Nada-nada pertama mengalun dengan indah. Jemari Bella sudah mulai menari di atas tuts dengan gemulai. Meskipun matanya menatap lurus ke arah partitur, dan sesekali ke arah jari-jarinya, tetapi tiap kali ada kesempatan, Bella selalu menatap bangku penonton. Rupanya ia benar-benar mengharapkan seseorang itu tiba, seorang pria yang benar-benar berarti baginya. Bella memejamkan mata, semakin meresapi lagu yang ia mainkan seraya mengingat pertemuannya dengan pria itu.
...........
Malam yang cerah itu, dengan bulan purnama membulat sempurna, merupakan malam yang amat tepat bagi mereka untuk berbagi waktu bersama. Pria itu mengajak Bella untuk duduk di bangku taman yang berpenerangan remang, menikmati cahaya bulan dalam kegelapan.
 Bella menggenggam tangan pria itu, seolah tidak ingin melepaskannya lagi.
“Kau tahu betapa usiaku semakin singkat.” Bella memulai. Tetapi pria itu menaruh jarinya tepat di depan bibir Bella, menghentikan bicaranya.
“Jangan kau bahas tentang usiamu lagi. Kita akan selalu bersama, dan kau tahu itu.” Pria itu mengeratkan genggamannya pada tangan Bella. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi begitu saja.”
Bella tersenyum, dan menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu. “Besok, aku akan mengikuti konser piano itu, sesuai yang kausarankan. Mereka menerimaku dalam audisi. Akankah kau ada di sana, menontonku? Aku tahu kau memiliki pekerjaan dan berbagai kesibukan lainnya, tapi,-”
Pria itu melepas genggamannya dan merangkul Bella dalam satu dekapan hangat, menghentikan kata-kata yang hendak terucapkan oleh Bella. Tangannya yang satu lagi meraih genggaman yang sempat ia lepaskan. “Tentu saja aku akan datang. Mainkan lagu terbaikmu untukku. Aku akan menjadi orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukmu. Aku janji.”
Bella mendengarkan dengan saksama semua suku katanya, cara pria itu mengucapkannya padanya, dan yang paling penting, makna dari apa yang diucapkan kepadanya. Ia memandang bulan yang begitu bulat di langit untuk kesekian kalinya, benar-benar menikmati saat-saat bersama pria itu, yang tidak selalu bisa didapatkannya.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan hari esok, Bella. Aku akan datang. Percayalah.”
“Baiklah. Kau tahu aku selalu percaya padamu. Tepati janjimu, Jason...”

Jason memandang lurus ke arah Bella, megelus wajahnya dan menyibak rambut yang menutupi wajah kekasihnya itu. Bella balas menatapnya, tepat ke dalam mata hijaunya yang jernih. Langit malam seakan menambah pesona keduanya.

"Kau dapat memegang kata-kataku." Setelah mengucapkannya, Jason mendekap Bella erat-erat dan mengunci bibirnya dalam satu ciuman hangat, yang menjadi bukti dari janjinya kepada kekasihnya.
............
Lagu ‘Endless Love’ klasik yang dimainkan Bella sudah memasuki refrain. Lagu singkat itu terus mengalun dari piano, seiring Bella menekankan jarinya di atas alat musik itu. Waktu terus berpacu, tetapi pria bernama Jason itu tak kunjung tiba. Bella mulai merasa gelisah, jemarinya gemetaran. ‘Bagaimana jika Jason melupakannya?’ Batinnya, tidak berani memikirkan jawabannya.
Bait kedua pun selesai. Bella merasakan dadanya sesak. Ia mulai menangis sedih. Ternyata Jason benar-benar melupakan konsernya. Mungkin ia terlalu sibuk dengan pekerjaan barunya. Suara tangisnya begitu perlahan dan pilu, teredam dan bercampur menjadi satu dengan suara piano yang lembut. Lagu ini akan selesai sebentar lagi. Begitu juga dengan penantiannya. Akankah Jason datang, memberinya standing ovation untuk penampilan perdananya?
Saat sedang mengulang refrain terakhir, Bella tidak tahan lagi. Dadanya sangat sakit. Tetapi ia tetap memaksakan diri untuk bermain hingga akhir. Hingga akhirnya ia menemukan jawabannya, jawaban atas kedatangan Jason. Nada-nada terakhir pun mengalun, tetap indah dan murni. Tidak ada yang tahu bahwa Bella sedang berjuang mempertahankan nada-nada terakhir itu. Berkeras tidak ingin selesai sampai Jason tiba di konsernya.
“Jason... Jason...” Bella mengulang nama itu berkali-kali di tengah perjuangannya. Sepertinya lagi-lagi jantungnya mengalami komplikasi. Komplikasi yang parah. Tetapi Bella tidak ingin menyerah, ia ingin terus bertahan. Ia ingin melihat sendiri jawaban itu. Kedatangan Jason...
Akhir lagu pun mengalun, dimainkan dengan sempurna oleh Bella dan jari-jarinya yang gemetaran. Begitu Bella mengangkat jarinya dari piano, pertanda lagu telah selesai, saat itu juga ia roboh ke lantai. Terdengar samar-samar suara tepuk tangan, dan dilihatnya Jason berada di hadapannya. Seluruh penonton mengikuti Jason bertepuk tangan.
“Kau datang...” Bella memegangi kerah kemeja Jason kuat-kuat, seolah tidak ingin melepaskannya. Jason baru saja mengangkat wajah Bella, hendak mengangkat tubuhnya, ketika disadari pegangan Bella mengendur. Nafas Bella mulai menjadi berat, dan matanya tertutup perlahan-lahan...
Ya, Bella telah mendapatkan jawabannya. Jason telah datang untuknya. Dan kini, ia bisa tertidur dengan tenang dalam dekapan kekasihnya untuk selamanya.

Minggu, 18 Desember 2011

Sing For You~ Lyrics

To:
Nofrero dan Way, yang belum pernah mendengarnya.
Nixie, yang melupakannya
Lupero, Keshia, dan bokap, atas komentarnya yang mendukung
Kalian semua membuat lagu ini menjadi sempurna.

SING FOR YOU ~

Verse 1 :
words can't picture those moments, nor they can't get it back..
i've been writing these melodies, just to help you remind it all..

Reff :
yeah when you sing, i'll sing with you
and when you compose all the notes, yeah, i'll sing with you
when you cry, i'll sing for you,
and when you smile, i'll smile with you.--

Verse 2 :
i've been reviewing all those times, when you then go away..
i will have to live my life, without you by my side
i'll try.. cuz' (to reff)

Bridge :
i was late to realize, that those moments are fake
now i have to go on, live my life, yeah
stop don't think 'bout those things we've been through
cuz' (to reff)

End:
(to reff) sing.. for you.
---------------------\\--------------------

Sabtu, 03 Desember 2011

Icylandar 1 - The Elf's Kingdom, Dunia Imajinasi kak Dionvy

Apakah yang kalian tahu tentang elf selama ini?

Biasanya, elf digambarkan sebagai makhluk mirip manusia yang lemah lembut dan abadi, juga mendekati sempurna. Padahal mereka sama sekali tidak seperti itu!

Dalam 'Dunia'-nya, kak Dionvy menggambarkan elf sebagai sosok yang mirip dengan manusia, dengan mortalitas yang sama, meski umur mereka relatif lebih panjang. Elf juga bisa berbuat salah, bisa menjadi jahat, dan tidak selamanya bisa mengontrol tindak-tanduk mereka yang lemah lembut itu. Tetapi mereka juga bisa saling mencintai, menjalin persahabatan, dan kesetiaan terhadap satu sama lain.

Icylandar ini merupakan novel asli Indonesia yang akan membawa kita semakin dekat dengan dunia elf kak Dionvy. Tokoh-tokoh yang digambarkan kak Dionvy memiliki karakter yang kuat dan cenderung unik. Seperti, Louie yang manja dan suka memberengut, Jendral Antolin yang pemarah, Jendral Rafael yang baik hati, dan lain-lain.

Sebagai pelengkap, kak Dionvy menambahkan beberapa makhluk lain ke dalam dunianya ini. Seperti, okluf, kapoy, pegasus, gagak yang bisa berbicara, dan lain-lain.

Diceritakan di buku ini bagaimana elf belajar, dan menjalani hidup.
Diceritakan juga tentang bagaimana mereka berkonflik dan bermusuhan.
Diceritakan juga tentang bagaimana mereka menjalin persahabatan dan kesetiaan.

Banyak yang bisa dipelajari dari elf-elf tersebut. Dan, moral itu hanya anda dapat di ICYLANDAR.
Maka, bagi pencinta fiksi-petualangan, kusarankan membaca buku ini.

Kurasa kalian akan suka dengan Jendral Antolin atau Reiden. Teman-temanku banyak yang mengagumi karakter Jendral itu dan musuh bebuyutannya yang nakal setelah membaca Icylandar ^_^

Selamat terharu, tertawa, jengkel, tegang, dan bersenang-senang membaca Icylandar, kawan-kawan!
Girianendaz Ivinandar!

Karya Dewi Rieka Kustiantari dalam "Melacak Penulis Misterius"

Buku ini memang seru sekali!

Ceritanya tentang seorang anak bernama Nailah. Dia seorang gadis yang gemar membaca buku, dan bercita-cita ingin menjadi seperti Kirey Sukandari, penulis idolanya. Dia sampai rela, lho, diledek satu kelas karena mengidolakan Kirey.

Waaaah....
Siapa sih, Kirey, sebenarnya?

Buku 'Melacak Penulis Misterius' mengisahkan petualangan Nailah dalam mencari tahu tentang identitas penulis idolanya itu. Berbagai pengalaman seru dia alami demi bertemu dengan Kirey. Novel ini diceritakan oleh Dewi Rieka Kustiantari, pengarang buku-buku "Anak Kos Dodol".

Bener-bener seru deh, pokoknya. Buat yang suka novel anak, jangan lupa baca, ya. Pasti kalian suka deh. Apalagi pas bagian Nailah jualan roti bakar di pinggir lapangan cuma buat ketemu Kirey. *Ups...

Eh?
Lengkapnya?
Baca sendiri, dong! Hehehe...
Selamat membaca, ya! :)

Rabu, 30 November 2011

Minggu, 30 Oktober 2011

Nico dan Nevada - Prologue

‘Seharusnya ada disini...’ Pikir seorang anak perempuan sambil terus merangkak masuk ke kolong tempat tidurnya. ‘Mana, sih, senter kecil itu?’ Rutuknya kesal.
‘Jangan-jangan...’
Anak itu segera keluar dari kolong tempat tidurnya dengan susah payah, dan membanting langkahnya menuju kamar tidur kakaknya.
Kamar Nico, kakak anak perempuan itu, tidak terlalu luas. Namun perabot yang ada ditata dengan rapi oleh ayah mereka, sehingga menimbulkan kesan nyaman yang menyenangkan. Dindingnya dicat hijau lembut, dan langit-langitnya putih. Tirai yang tersibak membuat kamar itu menjadi terang benderang. Tetapi Nevada kemari bukan untuk mengagumi desain interior kamar kakaknya, ia kemari untuk menuntut kakaknya atas hilangnya senter kantong kesayangannya.
BRAKK!!
Nevada membanting pintu kamar kakaknya keras-keras.
“KAK NICOOO!!! MANA SENTERKUUU!” teriaknya kesal, membuat kakaknya, Nico, terloncat dari kursi belajarnya dan jatuh mencium lantai dengan sukses. Telepon seluler yang sedang dipegang oleh Nico pun membentur lantai dengan keras. Segera Nico bangkit berdiri dan menyambar ponsel itu. Segera didekatkannya ponsel tersebut ke telinganya.
“Duh, maaf, tadi adikku teriak. Maaf banget ya, Jane sayang, aku telepon lagi nanti. Bye.” Kata Nico cepat-cepat dan segera memutuskan hubungan telepon dengan Jane, pacarnya.
“Cih. Pacaran melulu.” Cibir Nevada setengah berbisik.
“NEVADAAA!!!!!” Teriak Nico emosi sambil menerjang adiknya kuat-kuat ke lantai.
“APA?!” balas Nevada tak kalah kesal sambil terus meronta dari cengkeraman Nico. Tak sampai sedetik kemudian, mereka sudah bergulat di lantai dengan seru. Beberapa barang bahkan berjatuhan dari atas meja belajar Nico yang terletak di dekat pintu, karena terbentur tubuh Nevada dan Nico yang sedang bergulat seru di lantai.
“Bisa nggak sih kamu nggak gangguin aku! Sehariiii, aja!”teriak Nico kesal.
“Kalau nggak bisa memang kenapa?!” balas Nevada sengit.
“Harus bisa! Kalau nggak, aku nggak akan pernah bisa tenang seumur hidupku!” Nico tetap memaksa.
“Biar kakak bisa pacaran dengan tenang, maksudnya?” pancing Nevada nakal. Nico pun semakin kuat menerjang dan menampar adiknya keras-keras hingga Nevada mengerang kesakitan. Kali ini, jendela kamar yang menjadi korban, tertabrak punggung Nevada setelah ia dihempaskan ke belakang oleh kakaknya. Kaca jendela pun bergetar, seakan-akan siap pecah kapan saja.
“KAMU ITU YA! Cari masalah melulu!” teriak Nico lagi
“Siapa suruh kakak seenaknya mencuri senterku!” balas Nevada tidak mau kalah.
“Aku nggak mencuri barang itu! Jangan asal tuduh kamu, ya!”
“Lalu dimana senterkuuu!” teriak Nevada kesal. Lama-lama emosinya tersulut juga melihat kakaknya marah-marah dan memukulinya seperti ini. Mereka berguling sambil saling menjambak di lantai sesaat sebelum...
BRUK!
“Aaarrggh...” Nevada dan Nico mengerang bersamaan.
Keduanya membentur rak buku dan CD musik koleksi Nico hingga banyak barang berjatuhan menutupi tubuh mereka. Susah payah mereka bangkit berdiri, ketika Nevada menemukan sesuatu yang bersinar, dan hampir ditindih oleh kakaknya saat terpeleset jatuh. Sebuah senter kantong kecil berwarna perak.
“SENTERKU!” serunya senang. Kemudian ia menatap garang ke arah Nico, yang baru saja berhasil berdiri kembali. “Kakak mencurinya!” tuduh Nevada.
“Sudah kubilang, aku tidak mencurinya!” sanggah Nico, membela diri.
“Lalu mengapa senterku ini bisa ada di atas rakmu! Dasar licik!” teriak Nevada kesal.
“Aku tidak tahu! Yang jelas aku nggak menyentuh barang jahanam itu selama ini!” Nico balas berteriak.
“Apa kamu bilang! BARANG JAHANAM?! Dasar kakak menyebalkaaan!!” jerit Nevada sambil menerjang kakaknya, sehingga kepala Nico terbentur lantai dengan cukup keras.
Tiba-tiba, seseorang membuka pintu kamar Nico perlahan, dan memekik kecil karena shock. Wajahnya sesaat memancarkan keterkejutan yang luar biasa melihat keadaan kamar Nico yang begitu hancur. Tetapi, ekspresinya berubah menjadi amat menyeramkan ketika memandang kedua anak yang sedang bergulat di lantai tanpa menyadari keberadaan dirinya.

BRAK!!!

Ia menggebrak pintu kamar, sehingga Nevada dan Nico berhenti bertengkar.
Nevada dan Nico segera berhenti bergerak begitu melihat siapa yang memukul pintu kamar dan mengganggu ‘pertarungan seru’ mereka.
“Mama...” desis Nico tertahan. Langsung saja, keduanya menyadari tubuh mereka sakit akibat bertengkar barusan. Tapi, tidak ada bagian yang luka secara serius. Paling hanya sedikit luka lecet di beberapa tempat. Bahkan kepala Nico yang tadi terbentur lantai dan pipi Nevada yang ditampar Nico, tidak apa-apa. Tidak luka sedikitpun!
“Nevada, Nico ... Ada apa ini?” geram sang mama menahan amarah. Nevada dan Nico langsung memucat begitu mendengar suara mama. Kali ini kemarahan mama sudah melebihi biasanya, melihat kedua anaknya yang sudah remaja itu lagi-lagi bertengkar, layaknya dua anak kecil berebut mainan.
Nevada dan Nico segera berdiri. Keduanya tidak ada yang berani bicara.
“Kalian... ADA APA INI?! JELASKAN!” teriak mama.
“Kak Nico mencuri senterku, ma!” kata Nevada mengiba sambil - sempat-sempatnya – melemparkan pandangan sengit ke arah kakaknya.
“Nevada menggangguku saat aku menelepon Jane!” balas Nico kesal.
“Kak Nico menerjangku duluan!”
“Nevada membuatku jatuh tersungkur saat menggebrak pintu kamar dan berteriak keras, ma!”
“Kalau kamu jatuh kan itu karena salahmu sendiri!”
“Kalau kamu nggak bikin aku kaget seperti itu, aku nggak akan jatuh!”
“Kalau kamu nggak mencuri senterku pasti aku nggak akan marah-marah seperti itu!”
“Harus aku katakan berapa kali padamu, aku bahkan nggak menyentuh senter itu!”
“Bohong! Tadi aku menemukan senter ini di rakmu!”
“Senter itu nggak mungkin ada disana! Pasti kamu yang bohong!”
“STOP, STOP, STOP!!!” teriak mama sekeras-kerasnya. Nevada dan Nico langsung terdiam kembali melihat wajah mama yang sudah merah padam. “Mama tadi meminta kalian menjelaskan, bukan kembali bertengkar! Nico, berikan ponselmu.”
“Tapi...” Nico mengiba.
“BERIKAN PONSELMU!” teriak mama keras. Nico pun terpaksa mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan ponselnya pada mama. Nevada menyunggingkan senyum kemenangan melihat wajah kakaknya yang begitu suram.
“Kamu juga dilarang memakai ponsel selama perjalanan. Berikan ponselmu juga.” Kata mama pada Nevada.
“Tapi itu tidak adil! Kak Nico yang salah!” Seru Nevada kesal. Nevada menghentakkan kakinya pertanda ia mengamuk. Mama terpaksa membujuk gadis itu sehingga akhirnya ia memberikan juga ponselnya.
“Nah, kalian lebih baik bersiap menaikkan barang-barang kalian ke mobil. Kita berangkat setengah jam lagi. Tapi sebelum itu, obati dulu luka kalian.” Kata mama sambil melangkah keluar dari kamar Nico, diikuti oleh Nevada. Nico mendengus, ‘Apa yang perlu kuobati,’ pikirnya jengkel sambil mengepak tas secara asal-asalan di atas ranjangnya. ‘Aku dan Nevada bahkan tidak terluka!’
------------------------------
Liburan musim panas kali ini, keluarga Nevada dan Nico memang berencana untuk berkemah di tepi hutan Amazon. Nevada langsung melonjak kegirangan menyambut berita ini. Ia memang suka sekali berkemah. Sedangkan Nico langsung memberengut begitu mendengarnya. Nico lebih menyukai berada di rumah dan membaca buku-buku pengetahuan dibandingkan mengalami secara langsung rasanya berkemah. Amat sangat berbeda dengan Nevada, adik perempuannya.
Nevada langsung menaikkan barang-barang bawaannya ke mobil setelah mengecek barang-barang tersebut sekali lagi. Disandangkannya ransel besarnya, yang selalu dibawanya jika bepergian ke atas bahunya.
“HEI! Kak Nico! Lama sekali sih!” teriak Nevada dari depan rumah sebelum memasuki mobil.
“Iya! CEREWET!” balas Nico dari kamarnya. Beberapa saat kemudian terlihat Nico dan ayah berusaha menggotong tas berisi tenda ke dalam mobil. Nevada hanya berdiri diam saja tanpa berniat membantu keduanya, mengundang tatapan kesal Nico. Untunglah, wajah sangar mama yang masih membekas karena pertengkaran mereka tadi membungkam mulut kedua anak itu.
Akhirnya setengah jam kemudian, mobil pun siap berangkat. Nevada langsung meminta GPS pada ayahnya dan mempelajari cara penggunaannya setelah mereka sampai di mobil. Nico hanya mendengarkan lagu lewat iPod-nya, sambil sesekali melirik ke arah Nevada yang begitu asyik dengan GPSnya. Sesekali pula, tak urung Nico tersenyum kecil melihat tingkah Nevada yang begitu menggelikan, saat ia kebingungan karena salah memencet tombol pada GPS.
Setelah enam jam perjalanan yang membosankan dengan pesawat dan jeep sewaan, akhirnya mereka pun sampai ke lokasi perkemahan. Hari sudah pagi saat itu, meski hawa di tepi hutan masih dingin. Pohon-pohon berjajar renggang mengelilingi perkemahan dengan rapi, seakan tertata. Bekas perapian yang penuh abu terlihat di tengah perkemahan. Nevada langsung meloncat turun dari mobil dan meregangkan tubuhnya.
“HUAAAH! Segarnya!” katanya senang. “Tubuhku terasa kaku semua karena terlalu banyak duduk!”
Nico keluar dari jeep yang mereka tumpangi barusan setelah adiknya turun. Dengan malas, ia menggendong ransel berat Nevada keluar dari mobil dan membantingnya di dekat kaki adiknya itu.
“Apa ada tempat peristirahatan disini? Aku ingin menonton TV.” Kata Nico menyindir.
Nevada langsung cemberut. Tapi ia tidak membalas ucapan kakaknya, ia hanya mengambil tasnya yang tergeletak di atas rumput sambil mendengus kesal, dan pergi menjauh.
“Tidak ada, Nico. Papa sengaja memilih lokasi yang paling jauh dari tempat peristirahatan, tetapi paling dekat dengan danau kecil di tepi Amazon itu. Nevada pasti menyukainya.” Kata papa sambil menurunkan bawaan dari bagasi.
“Danau dimana, pa?” tanya Nevada semangat.
“Itu, kalian lihat saja ke arah barat. Ahh, kalau kurang jelas, ini, lihat di peta ini saja.” Kata Papa sambil menyerahkan selembar peta pada Nico.
“Oh, Iya, Neva lihat! Wah, indah sekali danaunya,” kata Nevada sambil melompat-lompat kecil agar danau yang dimaksud papa tadi lebih jelas terlihat olehnya. Memang, pepohonan di sini tidak terlalu rapat, sehingga danau tadi yang jaraknya hanya beberapa meter dari perkemahan dapat dilihat dari tempat Nevada berdiri.
“Danau Vraganz...” baca Nico sambil membolak-balik peta.
“Apa namanya tadi?” Nevada mulai tertarik. Ia berhenti meloncat-loncat dan menghampiri kakaknya yang sedang membaca peta.
“Vraganz... Nama danau itu Vraganz. nama yang aneh, ya?” kata Nico sambil terus mengamati peta.
“Coba, sini, aku mau lihat.” Nevada ikut mengamati peta yang dipegang Nico. Ia terpaku kebingungan pada tulisan VRAGANZ pada peta.
“Bagaimana mengejanya tadi?” tanyanya lagi.
“Hey, ada tempat peristirahatan, lima kilometer dari sini. Wah, mungkin mereka punya TV,” Kata Nico, yang sudah berpindah mengamati wilayah selatan di peta.
“Mana, mana!” sahut Nevada.
“Sudah, lebih baik kalian membantu papa memasang tenda.” Kata mama tiba-tiba. Nevada lebih dulu bereaksi, ia membalikkan tubuhnya dan menghadap papanya. Namun ia mengurungkan niat untuk membantu ketika dilihatnya sesuatu yang menarik di balik semak, tak jauh daritempat papanya mendirikan tenda. Ia berlari mendekati sosok unik itu.
“Nev...?” Nico baru saja membalikkan badannya ketika dilihatnya Nevada berlari ke arah hutan. Segera ia mengejar adiknya itu.
“Neva! Nevada!” Panggil Nico sambil terus berlari.
“Hei, kak, kemarilah!” Nevada berlari makin jauh sambil mengejar -  Hei, apakah itu... - kelinci berbulu biru... dengan telinga seperti telinga kucing dan ekor seperti ekor monyet? Panjang ekor itu kira-kira dua kali tinggi tubuh Nico. Ah, tetapi Nico tidak peduli pada makhluk biru yang aneh itu. Yang paling penting adalah agar Nevada tidak sampai masuk terlalu jauh dan tersesat di dalam hutan.
Nico semakin cepat berlari, mengejar Nevada. Akhirnya Nevada pun berhenti, sambil memandangi makhluk biru tadi. Nico yang tidak menyangka bahwa Nevada akan berhenti, nyaris menabraknya. Untunglah ia berhasil menjaga keseimbangan dan kembali berpijak dengan kuat. Makhluk biru itu membeku seperti patung, seakan siaga menunggu datangnya sesuatu.
“Nev...” Kata Nico takjub, tidak yakin akan apa yang dilihatnya. “Sebenarnya, makhluk apa itu?”
“Aku juga nggak tahu, kak.” Jawab Nevada. Ia berjalan perlahan mendekati makhluk itu dan berjongkok untuk mengamatinya.
Nico berjongkok di samping Nevada, untuk mengamati makhluk itu lebih dekat lagi seperti adiknya.
“Sebaiknya jangan kamu sentuh makhluk itu, siapa tahu...” Terlambat, Nevada keburu mengulurkan tangannya dan membelai punggung berbulu makhluk biru yang aneh itu. Tiba-tiba...
“AAAHHH!!!” jerit Nevada, refleks meraih tangan Nico yang berada di sebelahnya. Binatang itu menggerakan tubuhnya, mengejutkan Nevada. Nico balas mencengkeram lengan adiknya untuk menenangkannya.
Tahu-tahu makhluk itu sudah melingkarkan ekornya ke pinggang Nevada dan menarik gadis itu pergi, menjauh dari perkemahan. Nico, yang sebelah tangannya ditarik oleh Nevada, otomatis ikut terseret bersama mereka. Makhluk ini membawa mereka masuk lebih jauh ke dalam hutan dengan kecepatan suara dalam tiap langkahnya. Setelah tiga langkah, Nico tahu bahwa makhluk ini melompat alih-alih melangkah lebar, mengangkat dia dan Nevada agar mereka tidak membentur tanah. Semakin ketakutanlah mereka berdua. Ia dan Nevada sampai menjerit-jerit. Namun, sepertinya tidak ada yang mendengar teriakan mereka.
“Apa yang terjadiii! Hei, turunkan kamiiii!!!” seru Nico histeris. Tangannya yang satu lagi berpegangan kuat pada kaitan ekor makhluk biru yang meliliti pinggang Nevada. Ia tidak berani mengendurkan pegangannya barang sedetik pun. Sungguh, ia ketakutan setengah mati diseret pergi seperti itu.
Dalam perjalanan yang memacu adrenalin itu, Nico sadar, mereka baru saja melewati sebuah pintu sejenis portal. Karena begitu cepatnya kelinci biru itu berlari, Nico tidak mengamati dengan detail pintu portal yang barusan mereka lewati. Tiba-tiba saja mereka sudah berada di bagian dalam hutan, Nico mengenalinya karena ukuran pohon-pohon di sini lebar dan tinggi sekali. Makhluk ini masih membawa dia - dan Nevada - meloncat tinggi diantara pepohonan raksasa.
“BERHENTI!!!” jerit Nevada putus asa.
Tak lama, makhluk itu berhenti di depan sebuah batu. Nico dan Nevada ikut berhenti, namun Nevada masih berayun di udara. Nico sudah bangkit berdiri ketika disadarinya ia kelelahan.
Sepertinya tanah di tempat mereka berhenti sekarang pernah ditempati kemah, karea Nico melihat sebuah lingkaran hitam bekas api unggun di sebelah kanan mereka. Ekor yang membelit pinggang Nevada tak kunjung lepas meski makhluk itu telah berhenti, membuat gadis itu semakin ketakutan dan gemetaran. Ia tidak berani meronta lagi, karena ia tidak berada di tanah, melainkan masih melayang di udara, disangga oleh ekor kelinci biru itu.
“Wah, ternyata ia mengerti ucapanmu, Nev.” Kata Nico, mencoba bercanda sambil melepas pegangannya pada ekor biru makhluk tersebut. Tangannya yang satu lagi masih memegangi tangan Nevada, yang mencengkeram kuat sikunya. Nevada hanya menatap binatang itu dengan ngeri. Ia sedang ketakutan, sehingga tidak begitu mendengarkan perkataan Nico.
“Lepaskan aku!” pinta Nevada pada makhluk biru itu. Suaranya bergetar, seakan nyaris pecah.
“Lepaskan mereka, Ciryon. Mereka ketakutan.” Terdengar sebuah suara yang datang dari balik pepohonan. Ciryon segera menurunkan Nevada perlahan ke atas rumput, kemudian melepas ekornya yang membelit pinggang gadis itu. Nevada terlihat lega sekali. Ia melepas cengkeramannya pada tangan Nico.
“Kane, sepertinya ritualmu berhasil.” Sahut suara yang satu lagi.
 “Kau tidur saja dulu, Ciryon.” Suara pertama kembali terdengar.
“Siapa kalian?” Nico langsung siaga. Nevada mencengkeram kembali lengan Nico kuat-kuat, tapi tidak sekuat sebelumnya. Dilihatnya Ciryon, si kelinci biru, telah tertidur pulas. Sepertinya ia lelah akibat perjalanan singkat tadi.
Dua sosok manusia – atau setidaknya mereka mirip manusia – melangkah mendekati Nevada dan Nico. Makhluk yang tadi dipanggil Kane terlihat seperti manusia gothic, serba hitam, rambutnya biru tua kehitaman dengan panjang sebahu, dan berkulit amat pucat. Sedangkan makhluk di sebelahnya memiliki telinga panjang yang runcing, rambut yang panjangnya sepunggung dan agak berantakan, memakai ikat kepala dari kulit.
Keduanya memakai jubah bertudung, milik Kane berwarna hitam keunguan, sedangkan milik kawannya berwarna hijau serupa warna daun cemara. Tudung mereka tidak dikenakan sehingga wajah mereka terlihat jelas. Poni sang ranger dibiarkan jatuh melintang di kedua sisi wajahnya, sedangkan poni milik Kane menutupi sebagian wajahnya. Mata sang ranger berwarna cokelat gelap, sedangkan warna mata Kane keunguan.
“Maaf, nak, tapi kalian harus diam dulu sementara. Terutama setelah perjalanan bayangan yang melelahkan.” Kane membidikkan sumpitnya dua kali dalam kecepatan cahaya. Tak sampai semenit kemudian, Nevada dan Nico sudah tergolek di atas rumput. Mereka tertidur, dan tidak lagi mendengar apa-apa akibat obat bius dalam sumpit yang dibidik Kane.

Jumat, 28 Oktober 2011

HOW THE LOTR SHOULD HAVE ENDED (youtube video) - Dialogue

HOW THE Lord Of The Rings SHOULD HAVE ENDED
Elrond : (Seriously) The Ring must be taken back into the fiery chasm from whence it came. One of you... (Looking sharply to everbody in the counsel) Must do this...
Gandalf : (Raising his finger) I had an idea. It just might work!
15 minutes later...
Aragorn : Saurooonnn... Hey, Sauron!
Suron looks at Aragorn, Legolas, Gimli, and Boromir angrily.
Sauron : (Whisper terrifyingly) I See You....
Aragorn :You SUCK!!!
Aragorn laughs pointing at Sauron, Legolas makes a jokey face, Gimli dances terribly with his hands raised up, and Boromir shows his ass.
Sauron : Grrr.... (Angrily)
Sauron’s eye narrowing because of anger.
Meanwhile...
Gandalf, Merry, Pippin, Sam, and Frodo fly through Mordor using an eagle whose eyes covered by a cloth so he doesn’t get scared or whatever else while flying though the air of Mordor. Sauron’s eye is fixed to the four jokers who played tricks on him (Aragorn, Legolas, Boromir, Gimli) so he doesn’t realize that Gandalf and the hobbits fly though the air, straight to the top of Mount Doom.
Gandalf : (Shout) Prepare yoursef Frodo! We’re almost there!
Frodo : (scared) Gandalf, there’s fire below us!
The Eagle : PWIIIIINNGGGK... ?!!! (What the heck is going on?!!!)
Gandalf : (Still shouting) I’ll tell you when it’s over! Just keep flying, Blasticbird! Ready the Ring, Frodo!
Frodo holds the ring with his right hand.
Frodo  : (Shout in reply) Ready!
Gandalf : (Still shouting) NOW, FRODO!!!
Frodo Releases the Ring
Frodo : Wheee.....
The ring goes straight down to the heart of mount doom. Suddenly...
Gollum : (Shout and jump in to the lava, trying to reach the ring) PRECIOOOOUUUUSSS!!!!!
Gollum grabs the ring.
Gollum : Hehehehee..... Uhh?
SPLUBT!
Gollum and the ring all vanish into the heart of Mount Doom
Sauron’s eye also break down because the ring is now gone.
The Nine Companions flew home using Gandalf’s eagles.
Merry : Well, that was incredibly easy!
All : Hohohohoho....
Pippin : Yeah, one of us might have died!
All : Hohohohoho... Don’t be silly.. hohohoho...
Eagle : PWIIINGGGKKKK....
-THE END-

Jumat, 07 Oktober 2011

Terjemahan Repost - Indonesian

Post ulang :

Ibuku hanya memiliki sebuah mata.

Aku amat membencinya. Ia sungguh memalukan. Ia memasak untuk para murid dan guru untuk menopang keadaan keluarga. Ada suatu ketika, di saat aku masih SD, ibu datang dan menyapaku. Aku amat malu. Bagaimana ia bisa melakukan ini padaku?! Aku mengabaikannya, memberinya pandangan benci dan berlari menjauh.

Keesokan harinya...
Teman-teman sekelasku mengejek : ... "IIIIIH! Ibumu hanya memiliki satu mata!"
Aku merasa ingin menguburkan diri. Aku juga ingin agar ibuku menghilang. Pada hari itu juga aku menghadapnya dan berkata : "Kalau ibu hanya ingin membuat aku sebagai bahan tertawaan, Kenapa ibu tidak mati saja?!" Ibuku tidak berkata apa-apa... Aku bahkan tidak berpikir barang sedetik pun saat mengucapkan kata-kata barusan, karena aku marah sekali. Aku juga tidak peduli lagi dengan perasaannya. Yang kuinginkan pada saat itu hanyalah kabur dari rumah dan tidak perlu lagi berurusan dengannya.

Maka, aku belajar mati-matian dan mendapatkan kesempatan belajar di Singapura. Lalu aku menikah, dan membeli rumah sendiri. Aku memiliki anak. Aku bahagia sekali dengan kehidupanku saat ini, dengan anak-anakku, dan segala kenyamanan yang kumiliki. Pada suatu hari, ibu datang ke rumahku. Ia belum pernah mengunjungiku selama bertahun-tahun, bahkan ia belum pernah melihat cucu-cucunya sama sekali.

Saat ia berdiri di depan pintu rumahku, anak-anakku menertawainya, dan aku membentaknya karena ia datang tanpa diundang. Aku berteriak keras-keras, "Beraninya kau datang ke rumahku dan menakuti anak-anakku! Keluar dari sini, SEKARANG!!!" dan ibuku menjawab perlahan, "Oh, maaf. Mungkin saya salah alamat..." dan ia pergi begitu saja, hilang dari pandangan.

Suatu hari, ada sebuah surat tentang acara reuni sekolah yang sampai ke rumahku. Maka aku berbohong pada istriku, berkata bahwa aku akan pergi karena urusan bisnis. Setelah acara reuni selesai, aku berkunjung ke gubuk tua tempat masa kecilku berlangsung dulu, karena penasaran. Tetangga-tetanggaku berkata bahwa Ibu telah meninggal. Aku bahkan tidak menangis, tidak mengeluarkan setitik air mata pun. Mereka memberikan aku sepucuk surat dari Ibu :

Untuk, Anakku tersayang.
Aku berpikir tentangmu di setiap waktu yang kumiliki.
Maafkan aku, karena aku berkunjung ke rumahmu di Singapur dan menakuti anak-anakmu.
Aku amat gembira saat mengetahui bahwa kau akan datang saat acara reuni dilangsungkan.
Tetapi aku bahkan tidak dapat bangkit dari tempat tidurku.
Maafkan aku karena selalu mebuatmu malu sepanjang masa kecilmu.
Kau tahu... Ketika kamu masih kecil, kamu mengalami kecelakaan, dan sebelah matamu tidak lagi berfungsi.
Maka dari itu, aku memberikanmu mataku.
Aku amat bangga karena anakku mampu melihat dunia untukku, di tempat aku berada, dengan mata tersebut.
Dengan segenap cintaku padamu, Ibumu tersayang.

Terima kasih untuk
@Edwin Hartono Limbri yang telah mengepos cerita keren ini di status fbnya.
numpang maring blogku, rapopo, kan, le? ^^

Selasa, 04 Oktober 2011

Repost dari Facebook

 
repost:
My mom only had one eye.

I hated her... She was such an embarrassment. She cooked for students and teachers to support the family. There was this one day during elementary school where my mom came to say hello to me. I was so embarrassed. How could you do this to me? I ignored her, threw her a hateful look and ran out.

... ... The next day at school one of my classmates said. ......"EEEE, your mom only has one eye!" I wanted to bury myself. I also wanted my mom to just disappear. So I confronted her that day saying, "If you are going to make me a laughing stock, why don't you just die?!" My mom did not respond... I didn't even stop to think for a second about what I had said, because I was full of anger. I was oblivious to her feelings. I wanted to be out of that house, and have nothin to do with her.

So I studied really hard, got a chance to go Singapore to study. Then I got married, I bought a house of my own. I had kids of my own. I was happy with my life, my kids and my comfort. Then one day my mother came to visit me. She hadn't seen me in years and she didn't even meet meet her grandchild ren.

When she stood by the door, my children laughed at her, and I yelled at her for coming over uninvited. I screamed at her, "How dare you come to my house and scare my children!" "Get out of here! Now!!!" And to this, my mother quietly answered, "Oh, I'm so sorry. I may have gotten the wrong address," and she disappeared out of sight.

One day, a letter regarding a school reunion came to my house in Singapore. So I lied to my wife that I was going on a business trip. After that reunion, I went to the old shack which was my childhood home out of curiosity. My neighbors said she passed away. I did not shed a single tear. They handed me a letter that she wanted me to have:

My dearest son, I think of you all the time. I'm sorry that I came to Singapore and scared your children. I was so glad when I heard you are coming for the reunion. But I may not be able to even get out of bed to see you. I'm sorry that I was a constant embarrassment to you when you were growing up. You see.... When you were little, you got into an accident , and lost your eye. So I gave you mine. I was so proud of my son seeing a whole new world for me, in my place, with that eye.
With my love to you, Your mother

Thanks to,
@Edwin Hartono Limbri who posted this cool story on his status.

Sabtu, 10 September 2011

Cerbung - Be Yourself, Kak! ~ Part 2

BE-YOURSELF, KAK! ~
Dio menggeleng setelah mencampakkan Reyhan begitu saja. “Nihil, Chard. Saku bajunya kosong.” Katanya. “Aku beneran nggak punya uang, kak.” Reyhan mulai berani. Kakakku memperhatikannya dengan tajam. “Hajar aja dia.” “JANGAN!” teriakanku memotong ucapan kakak. “RIAN?!” Kakak dan Reyhan mengucapkan namaku bersamaan. “Rey, pergi buruan. Sebelum lo diapa-apain. Dan lo,” Aku menatap marah kearah kakak. “Gue mau ngomong empat mata sama lo.” Kataku dingin, dengan tangan masih mengepal. Reyhan langsung lari ke kelas, sedangkan kakak membubarkan teman-temannya sehingga kita dapat bicara berdua saja.
“Ada apa?” Tanya kakak, seakan tidak ada kejadian apa-apa sebelumnya.
“Ada apa? ADA APA?! Kayaknya gue deh yang harus nanya gitu sama lo!”
“Ri, kakak bisa jelasin...”
“Jelasin apa lagi, hah? Kenapa lo bully Reyhan? Gak perlu. Semuanya udah jelas kan sekarang?!”
“Rian...”
“Dasar bullshit lo! Bego bener gue selama ini percaya sama lo! Ternyata lo itu emang keterlaluan! Gue tau lo ketua OSIS. Tapi apakah ketua OSIS akan tampak terpuji, gitu, kalo kerjaannya ngebully temen-temen gue?! NGGAK KAN?!”
“Ri, kakak melakukan ini sesuai kemauan geng, bukan kemauan kakak sendiri!”
“Kemauan siapapun itu, lo bisa bedain yang bener ama yang nggak!”
“Oke! Semua salah kakak.”
“Memang itu salah lo!”
“Terus apa mau kamu?”
“Gue nggak mau ngakuin lo sebagai kakak gue selama tindakan lo masih begitu!”
Kakak terlihat terperanjat sekali. Aku sendiri juga heran, mengapa aku bisa melontarkan kata-kata sekejam itu. Namun wajahku tidak berubah ekspresi, menandakan aku tetap pada keputusanku. PLAK!!! Kakak menamparku dengan keras, membuatku terhuyung ke belakang. Wajahnya menyiratkan rasa sakit hati yang dalam. Jelas ia marah besar karena kalimat yang kukatakan barusan.
“BAIK! Terserah lo! Gue ikutin aja apa mau lo. Gue juga nggak nyangka, kalo adik gue ini emang kurang ajar!” Katanya, setengah berteriak.
Aku meninggalkan kakak dan menuju ke kantin secepat mungkin. Aku malas berdebat lagi dengannya. Lagipula, kelihatannya kakak juga tidak peduli lagi denganku, si ‘adik-kurang-ajar’. “Hei, Rian! Sini!” Toni langsung memanggilku begitu aku tiba di kantin. “Hai, man! Hai Niar, Jani.” Aku menyapa teman-temanku semuanya dan langsung duduk disamping Daniar. “Lo dari mana aja, Ri? Kok bisa sampe telat banget gini?” Tanya Jani, yang rupanya tidak sabar menunggu kehadiranku. “Kita udah belajar duluan tadi, sampe bagian sini. Nggak apa-apa, kan?” Toni nimbrung. “Nggak, nggak apa-apa. Sori guys, tadi gue ada urusan sama kakak gue.” Aku mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit nada kesal. “Pipi lo... Lo abis ditampar ya?” Daniar rupanya memerhatikan pipi kiriku yang tadi ditampar kakak. Tanpa sadar aku merabanya. “Nggak apa-apa. Udah, lanjutin belajarnya yuk.” Aku mencoba mengalihkan topik agar teman-temanku itu tidak mengkhawatirkanku.
“Serius, Ri. Kalau lo kenapa-napa, mending ke UKS aja sana. Lo kok bisa sampe kena tampar gitu sih? Siapa yang nampar lo?” Toni rupanya benar-benar cemas dengan keadaanku. “Mau belajar nggak nih?! Kok malah jadi arisan, sih?” Aku keceplosan membentak Toni. “Yee... Kok malah marah? Gue khawatir, tau. Lo ada masalah apa sama kakak lo?” Toni menyabarkan diri, sadar akan sikapku, yang susah sekali meredakan emosi setelah dipanas-panaskan. “Bukan urusan lo. Udah ah, bubar! Lagian istirahat juga udah mau habis. Gue ke kelas dulu.” Dengan ketus aku mengakhiri pertemuan itu, dan pergi begitu saja, meninggalkan teman-temanku yang bengong menatap kepergianku.
Beberapa jam kemudian...
KRIIINGGG... Belpulang membuyarkan lamunanku. Aku menatap buku catatanku dengan pandangan pasrah. Lembar buku catatan untuk pelajaran sejarah tadi masih kosong melompong, tanpa tulisan sehuruf pun. Hanya saja pada satu sudutnya kugambari dengan gambar Ninja Hatori, satu-satunya coretan yang mengisi halaman tersebut. Pikiranku memang sedang kacau hari ini. Teguran guruku juga tidak aku perhatikan. Aku tidak bisa berhenti memikirkan pertengkaranku dengan kakak.Ini adalah pertengkaran serius kami yang ketiga, dan yang paling serius. Aku masih belum bisa melupakan pertengkaran kami yang terakhir. Selama satu bulan penuh kami tidak bertegur sapa. Bicara kalau hanya diperlukan saja. Bagaimana dengan perang dingin kali ini?
 “Rian. Pulang.” Kakak memanggilku seperti biasa dari balik pintu kelas. Bedanya, kali ini ia memanggilku dengan nada dingin. “Toni, gue pulang bareng lu aja, ya. Rumah kita kan deket sama sekolah.” Aku meminta pada Toni, mengabaikan kakakku seolah-olah ia tidak ada disana dan yang bicara itu hanya desiran angin. Kakak segera menatap tajam padaku. “Ayolah, Ton.” Bujukku. Toni melirik ragu kearah kakakku sekilas, lalu megangguk meniyakan. Maka sejak saat itu aku pulang sekolah dengan Toni selama sebulan penuh. Sebenarnya aku lebih suka pulang dengan kakak, namun mengingat pertengkaranku dengannya aku selalu naik darah.
Perubahan ini tentu saja mengherankan seluruh orang rumah, dan juga Toni. Ia tahu persis bagaimana kebiasaanku terhadap kakakku. Namun itu semua berubah tiba-tiba. Mau tidak mau aku menjelaskan semuanya pada Toni, serta orangtuaku, tentang apa yang terjadi. Aku dan kakakku langsung dimarahi habis-habisan oleh mama dan papa. Sayangnya, itu tidak membantu kami untuk berbaikan. Memang, kami tidak lagi berperang kata-kata seperti waktu itu, namun kami melakukan aksi perang dingin. Keadaan seperti ini kadang menyiksa batinku. Aku ingin kembali akur dengan kakakku seperti dulu, namun gengsi dan kenangan akan pertengkaran kami selalu berhasil mengurungkan niatku.
Tepat sebulan setelah pertengkaranku dengan kakak, mama dan papa pergi ke Surabaya selama lima hari untuk merawat tante Sila yang sedang sakit. Aku dan kakakku tidak bisa ikut karena kami tetap harus bersekolah seperti biasa. Tentu saja kami protes, apalagi kami sedang dalam keadaan bertengkar.Namun orangtuaku tetap pada keputusan mereka. Mereka tidak memperbolehkan salah satupun dari kami pergi ke Surabaya bersama mereka.
Dengan perginya orangtua, kami mulai sering meributkan hal-hal kecil. Misalnya, aku hendak menonton DVD, tetapi kakak ingin menggunakan layar TVnya untuk bermain komputer. maka kamipun saling membentak dan tidak mau mengalah sampai Mbak Sri, pembantu di rumah kami, melerai pertengkaran itu. Malah kadang, kami mulai main fisik. Makin kewalahanlah Mbak Sri, karena bagaimanapun juga ia pasti tidak sanggup menghentikan kami tanpa ikut terkena pukulan maut kami. Aku mulai bertanya-tanya, kapankah keadaan seperti ini akan berakhir? Sebenarnya aku sudah muak dengan suasana perang dingin ini.Tapi aku terlalu kesal untuk mengalah dan meminta maaf. Kan kakakku yang salah pertama kali. Mengapa harus aku yang meminta maaf?
                                                           O_o
Aku dan Toni pulang bersama seperti yang selalu kami lakukan sejak aku bertengkar dengan kakak. Namun hari ini kami memutuskan untuk pulang lebih lambat. Satu hal yang aku tahu, kakak selalu pulang lebih lama daripada aku sejak kami tidak pulang bersama. Aku tidak tahu alasannya, namun seharusnya ia sudah pulang sekarang. Hari ini ia ada les, sehingga tidak mungkin kakak masih menungguku pulang. Kami membeli es teh manis dan duduk di taman kecil yang sangat rimbun. Tempat ini tersembunyi sekali, sengaja kupilih agar kakak tidak dapat menggangguku. Namun, tak disangka, sepuluh menit setelah kami bersantai di tempat itu, sekelompok anak kelas tiga SMP datang. Mereka semuanya laki-laki, dan berperawakan preman. Sangar, kuat, dan kekar.
“MINGGIR LO! Ini pangkalan kita!” kata seorang anak yang kelihatannya paling kuat mengancam kami. “Lo denger kata bos gue ga? Pergi sana!” Seorang anak yang berkepala botak mendukung ‘bos’nya tadi. “Rian... Pergi yuk...” Toni berbisik padaku, ketakutan. “Apaan sih?! Kita tiba disini duluan. Terserah kita dong mau pergi apa nggak.” Aku membela diri, tidak mengindahkan ketakutan Toni. “Mo ngelawan lo?! Waahh, Bos! Rupanya ada anak kurang ajar yang berani nantang kita disini.” Seorang anak yang bertampang sengak menunjuk wajahku. “Pasti lo anak baru, deh. Udah, pergi aja.” Seorang anak yang memakai jaket berwarna biru tua meremehkan kami. Aku diam tak bergeming. “Coba usir gue.” Tantangku.

BERSAMBUNG...

Selasa, 23 Agustus 2011

Cuplikan Scene Roman Picisan - Dongeng

Malam ini Sevira sedang berjalan-jalan di hutan Aridazai, di luar kerajaannya. Seharian ia sibuk membantu adik-adik kembarnya, Ardily dan Wardhazka, untuk menyambut ulang tahun mereka yang ketujuh belas. Kakaknya, Pangeran Darthlandaz sang putera mahkota,  tidak bisa membantu mereka karena ia sedang sibuk mempersiapkan diri untuk upacara penobatannya sebagai raja tiga bulan lagi.
Keberadaan Sevira di hutan ini tidak diketahui siapapun malam ini, karena ia menyelinap pergi dari kamarnya lewat lorong rahasia yang kata kuncinya hanya diketahui olehnya. Rupanya malam ini bulan sedang tidak bersinar, sehingga keadaan di dalam hutan menjadi gelap dan nyaris pekat. Sevira tidak akan mampu melihat apa-apa kalau bukan karena matanya yang tajam.
Kresk, kresk!
‘Bunyi apa itu?’ Sevira langsung waspada.  Suara ini sepertinya berasal dari balik pepohonan cendana di depannya. Ia berjalan mundur perlahan-lahan. Tangannya meraba-raba pinggang, menyentuh pisau yang selalu dibawanya.
“RROOOOAAARRHHH!!!!”
Sevira terloncat karena kaget. Di hadapannya kini berdiri monster hutan setinggi tiga meter. Sungguh, Sevira tidak menyangka akan bertemu monster seperti ini. Kalau saja ia membawa pedang panjang alih-alih pisau, pasti ia akan menebas kepala monster ini tanpa ragu.
BUM, BUM, BUM! Monster tersebut melangkah panjang-panjang untuk mengangkat Sevira dari tanah. Segera Sevira berlari ke arah yang berlawanan. Namun secepat apapun Sevira berlari, apa daya, monster tersebut jauh lebih cepat karena kaki-kakinya yang panjang. Pinggang Sevira pun diraihnya, tak bahwa peduli yang digenggam meronta-ronta sekuat tenaga. Sevira tidak berani berteriak, karena ia takut malah mendatangkan monster penghuni hutan yang lain. Nanti bisa-bisa ia semakin tercabik-cabik karena banyaknya monster yang datang...
“Lepaskan dia!” seru sebuah suara dengan lantang dari belakang si monster. Sevira malah merasakan bahwa genggaman di tubuhnya makin erat alih-alih dikendurkan.
CTASS! “RRROOOAAAARRRGGHH..” Raung si monster kesakitan. Rupanya sebuah panah menancap tepat di lehernya. Sevira dapat merasakan pegangan monster itu mengendur. Tetapi monster itu rupanya berkeras untuk tidak melepaskan Sevira.
Dengan susah payah Sevira membebaskan tangannya. Ia melemparkan pisaunya ke leher bagian depan monster itu. ‘Ah! Meleset!’ rutuk Sevira. Pisaunya malah mengenai dada si monster yang berkulit tebal.
 CTASS! CTASS! Dua buah panah kembali melayang ke titik vital pada tubuh si monster, menewaskanya seketika. Sevira memejamkan matanya dengan takut saat terjatuh dari ketinggian dua meter setengah. DUK! Kepalanya membentur akar pohon saat terjatuh sehingga ia pun jatuh pingsan.
O_o
Akhirnya, Sevira sadar begitu pagi menjelang. Belum sempat Sevira bergerak, pedang panjang yang runcing sudah mengarah pada lehernya. Sevira hanya diam sambil berusaha memfokuskan kembali pandangannya.
“Rupanya kau pingsan cukup lama.” Kata sosok itu.
“Terima kasih sudah membantuku.” Entah mengapa, Sevira merasa malu saat mengucapkan kata-kata itu.
“Seharusnya aku tidak boleh membantumu.” Kata sosok itu lagi.
“Mengapa?” Tanya Sevira polos
“Karena kerajaan kita.” Sevira sesaat tidak mengerti apa yang dikatakan pemuda di hadapannya. Namun setelah meneliti pakaian yang dikenakan pemuda itu, tahulah Sevira bahwa ia baru saja ditolong oleh seseorang dari kerajaan Dralavad, musuh utama kerajaannya.
“Lalu mengapa kau masih menolongku?” Tanya Sevira. Hatinya diliputi rasa hangat yang aneh, mungkin rasa hormat dan kagum mengingat pemuda ini telah mengingkari hukum kerajaannya demi menyelamatkan dirinya.
“Hmm... Coba kau pikir. Jika ada gadis yang diserang monster hutan yang kelaparan pada tengah malam, apa kau akan membiarkannya mati begitu saja?”
“Tapi itu melanggar hukum kerajaanmu, kan?”
“Hutan ini bukan milik kerajaan manapun. Disini tidak ada makhluk yang terikat oleh hukum.”
Pemuda tersebut menarik pedangnya dari leher Sevira. Sevira pun mendesah, lega.
“Berdirilah. Kau haus?” Pemuda tersebu mengulurkan tangannya dan membantu Sevira bangkit berdiri.
“Ya, aku haus sekali. Hmm, kita kan belum berkenalan. Aku Sevira. Siapa namamu?”
“Aldrich.” Deg. Sevira mematung. Pangeran Aldrich. Ia ingat sekali nama itu.
Dahulu, di kerajaan Dralavad, ada seorang raja bernama Aldrich. Raja inilah yang dikatakan pernah menculik puteri Shavilya, neneknya, untuk dijadikan isterinya. Rakyat kerajaan Aryalaz, kerajaannya, tidak terima dipermalukan seperti itu. Inilah asal muasal permusuhan kedua kerajaan.
Dan sekarang, Sevira sedang berhadapan dengan cucu kesayangan sang raja kejam itu sendiri.
‘Aku tidak sekejam itu, Putri Sevira,’
“Apa katamu tadi?” Tanya Sevira bingung. Bagaimana ia dapat mendengar suara Aldrich dalam kepalanya?
“Aku tidak sekejam itu. Begitu pula kakekku. Ini semua hanya kesalahpahaman belaka.” Kata Aldrich dingin. “Sudahlah, mari, kuantar kau ke sungai.”
“Sepertinya kau sering datang ke hutan ini.” ujar Sevira sambil tersenyum.
“Begitulah.”
“Dari mana kau tahu aku seorang putri?”
“Di kerajaanmu hanya ada satu Sevira, yaitu sang putri.”
Sevira diam saja. Di hatinya ia sedang mencemaskan masalah lain. ‘Bagaimana jika pasukan kakak menemukan pangeran Aldrich denganku disini?’
“Hahahaa, Putri,”
“Panggil saja aku Sevira, pangeran.” Potong Sevira otomatis.
“Baiklah, Sevira, mereka tidak tahu akan berhadapan dengan siapa.”
“Tapi...” Aldrich meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Sevira, mengisyaratkannya untuk diam.
“Kalau kau sedang dirundung masalah, aku akan selalu ada disini. Datanglah ke tempat ini setiap kali kau ingin bertemu denganku. Nah, sekarang aku harus pergi...”
“Bagaimana aku tahu kau akan ada disini saat aku membutuhkanmu?”
“Ini,” Aldrich memberikan sebuah peluit kecil pada Sevira. “Tiuplah saat kau membutuhkan aku.”
.................

Senin, 22 Agustus 2011

Cerita Mini - Gara-gara Sumpah Serapah

Gara-Gara Sumpah Serapah
              Di kantin, saat istirahat, seperti biasa Chira turun ke kantin. Ia berencana akan membeli bakso pak Pri di kios paling ujung, karena biasanya antrean disana tidak seramai di kios-kios lain.
“Neng kriting, mau beli apa, neng?” sapa pak Pri ramah seperti biasa. Chira mendengus. Ia paling sebal dipanggil Kriting. Memang rambutnya agak berombak, tetapi, kata kak Dhani, so what gituloh?
Chira mengucap pesanannya dengan dongkol. Sejak kapan sih seisi kantin memanggilnya dengan sebutan Kriting? Bahkan pak Pri yang baik pun ikut-ikutan.
              “Woi, si kriting dateng!” sahut Ipank, yang paling ceria diantara seluruh anak yang berkumpul di meja panjang.
              “Ting, kok kamu nggak pesen mi goreng? Biar seragam gitu, sama-sama kriting!” ledek Saskia, yang paling kompak dengan Ipank kalau so’al meledek Chira.
“Kurang ajar kalian! Kusumpahin biar kalian tersedak!” Dengan kesal Chira berseru, meski niatnya hanya pura-pura marah.
Tidak sampai sedetik kemudian, Ipank dan Saskia tersedak hebat. Keduanya terbatuk-batuk, tapi diluar itu mereka baik-baik saja. Seluruh anak yang mengelilingi meja panjang di kantin pun menatap Chira takut-takut. Bahkan ada yang segera pindah meja, menjauh dari Chira.
“Pank, Sas, kalian nggak apa-apa kan? A-aku nggak bermaksud nyumpahin kalian betulan kok...” Segera setelah Chira berkata begitu, Ipank dan Saskia mulai pulih. Keduanya tidak lagi batuk-batuk.
“Waaaa ! Dukuuunn!!” Teriak Ipank histeris. Saskia pun ikut menjauhi Chira, karena kejadian barusan. Wah, kapok deh, bersumpah-serapah! Lain kali, kalau mau bicara, harus dipikir dulu baik-baik...

Minggu, 21 Agustus 2011

Cerita Non-Rekayasa nyasar di Dunia Imajinasi Saya #1

Ceritanya gue lagi abis makan pempek di acara buka puasa bareng lingkungan gue. Mau nyari minum nih. Ahh, gue liat ada botol coca-cola gede nganggur di meja ujung. Langsung aja gue tuang di gelas gue yang masih kosong. Begitu tuh gelas penuh, ada yang tereak manggil nama gue. "Jen, Jen!!!" sahut tuh orang, yang ternyata temen koor lingkungan gue. Gue pasang tampang bingung.

"Weh, itu bukan coca cola, cuy! Itu KUAH PEMPEK tau!" Katanya sambil ketawa. Blaaaah!!! Untung aja blom gue minum tuh kuah! Dengan tampang tidak bersalah (emang gue ga salah, sih!), gue ikutan ketawa. Disana kebetulan ada banyak mbak-mbak lagi pada makan. Mereka ikutan ngetawain gue dong. Tapi gak pa pa...

Emang dasar anak panjang akal kalo udah gila, gue cemplungin beberapa pempek ke gelas gue. Gue cari air (kali ini gue nemu aqua gelas. hehehe, dijamin aman.) sama sendok, terus gue ubek-ubek itu kuah, dan makan pempek dari gelas itu... Sambil sesekali nenggak air kalo kepedesan.

DASAR GILAA!!! ^^

Senin, 08 Agustus 2011

Cerbung - Be Yourself, Kak!

Be Yourself, KAK!
Kakakku, termasuk anggota geng The BadBoys di SMP tempatnya bersekolah. Main band, merusuh, dan mejahili guru dan teman bukan lagi kegiatan asing baginya. Kakak kadang juga mengajakku untuk ikut melakukan kegiatan semacam itu dengan teman-temannya. Tapi seringkali aku menolaknya. Aku memang kurang menyukai kegiatan BadBoy. Menurutku, kegiatan seperti itu hanyalah pemborosan waktu. Lebih baik aku membaca buku di rumah. Maka dari itu aku jarang bepergian keluar rumah dengan kakak dan teman-temannya.
Aku memang terkenal sebagai anak baik-baik, bahkan mendekati kutu buku di SD tempatku bersekolah. Tapi, sebenarnya, diam-diam aku ikut belajar karate dengan kakakku. Lumayan, untuk olahraga dan latihan bela diri. Aku sekarang sudah menyandang ban merah, dan kakakku setengah tingkat diatasku, yaitu merah strip hitam. Aku cukup bangga dengan hasil jerih payahku berlatih karate, karena selain membentuk fisik yang kuat, karate juga mengajarkanku untuk menjadi lebih berani menjadi diriku sendiri. Aku tidak lagi ketakutan atau mudah marah jika teman-teman mengatai aku kutu buku dan kuper. Memang karena perubahan itu, teman-temanku bertambah. Sekarang mereka lebih bisa menerimaku dan hobiku membaca, dan aku amat sangat senang akan hal itu.
Kakakku pernah berkata bahwa di SMP Bakti Mulia, sekolahnya, kakak-kakak kelas seringkali bersikap seenaknya pada anak kelas satu. Dia bahkan pernah pulang dengan keadaan kotor dan memar di sekujur tubuh. Alasannya, itu karena ia tidak mau menyerahkan uang sakunya pada kakak-kakak kelas kejam itu. Maka dari itu ia mendirikan geng The Bad Boys dengan tujuan membantu melawan kekerasan kakak-kakak kelas yang meraja di sekolahnya.
“Lagipula, kakak harus menjadi Bad Boy biar gaul dan eksis, Ri!” tambahnya.
“Hah! Sekalian aja jadi Barney! Eksis juga, kan? ” ledekku padanya.
Kakakku hanya tersenyum. Tentu saja aku kenal sekali kakak. Dia adalah kakak yang mengajari aku membaca sewaktu aku kecil dulu. Mengajariku bermain basket, catur, dan bersepeda. Yang memakai baju berwarna cerah, dan bukannya  hitam. Menurutnya baju hitam itu suram dan gelap. Kakak juga masih suka membaca majalah bobo dan majalah kreatif, serta novel dan kumpulan cerpen anak-anak. Kami memiliki banyak sekali koleksi buku semacam itu.
“Itu beda, dong, Ri. Masa kegiatan kakak kamu samain sama Barney, sih? Nggak level, tau!” Kakak agak tersinggung.
“Bukan apa-apa, tapi menurut Rian, The Bad Boys tuh kegiatannya agak ekstrem. Katanya tujuan utamanya mau melindungi anak-anak yang lemah, yang suka dibully sama kakak kelas. Tapi, kok kakak sendiri suka merusuh dan menjahili orang lain? Itu kan sama saja menyusahkannya dengan kakak-kakak kelas tadi.” Aku menjelaskan panjang lebar dari balik buku yang sedang kubaca.
“Halah, sok tahu kamu! Merusuh dan iseng itu kan hanya supaya kita dikenal orang lain, Ri. Biar gaul, man!” Kata Kakakku dengan sok keren.
“Ah, kan untuk dikenal bukan berarti harus merusuh. Oya, kakak masih mau terus pakai baju hitam-hitam yang ada di lemari baju kita? Bukannya pernah kakak bilang warna hitam itu suram?” Aku masih terus menyindir kakakku.
“Yah, demi geng, Ri. Kakak juga kurang enak sih, lihatnya. Biar kerenlah sekali-kali gak apa-apa.” Katanya beralasan.
Biar keren. Lagi-lagi biar keren. Aku mendesah.
“Kakak aneh. Terserah, deh.” Aku menyerah dan melanjutkan membaca dengan diam.
Memang, akhir-akhir ini tingkah kakak menjadi agak menyebalkan.
Setelah masuk SMP, dunia kakak seolah terbagi dua. Di rumah, kukenal kakak yang baik dan asyik. Di sekolah, kukenal kakak yang keren dan populer. Kakak yang kurang kusuka, karena itu bukanlah dirinya yang sesungguhnya.Yang kutakutkan sekarang adalah, aku akan masuk SMP yang sama dengan kakak dua hari lagi. DUA HARI LAGI! Aku belum bisa menerima perubahan sikap seperti kakakku. Maksudku, Untuk apa kita mengorbankan kepribadian ASLI kita untuk masuk sebuah geng yang keren?
“Tenang sajalah, Ri. Kakak bantu deh, kalau kamu kesulitan disana.” Begitu kata kakak ketika aku menceritakan keraguanku padanya. “Bantuin apa lagi? Pelajaran?” Tanyaku, masih tidak mengerti. “Bantuin kamu bergaul, maksudnya. Gimana? Udah, jangan takut!” Jelasnya sambil tersenyum geli melihatku kebingungan. “Jadi BadBoy? Gak mau!! Mending Rian dicap sebagai kutu buku daripada jadi BadBoy! Karena itulah sifat Rian yang sebenarnya.” Aku menyindir kakakku. “Ya sudah. Terserah.” Kakak berkata datar sambil berjalan keluar dari ruangan dan meninggalkanku sendirian. Aku memikirkan kembali ucapanku, mengidentifikasi setiap katanya untuk mencari letak kesalahanku. Mengapa kakak marah? Kata-kataku salah ya?
Oya, kakakku ini ketua OSIS, lho. Dia adalah salah satu panitia untuk MOS nanti. Sebenarnya enak punya kakak pintar. Ya seperti kakakku ini. Namun, aku masih saja mengeluhkan sikap kakak. Enak, kalau kakakku itu baik dan menyenangkan. Namun, bila kakakku itu gaul dan sibuk? Entahlah, aku masih belum dapat membayangkannya.
Hari pertama di sekolah, kakak langsung mengajakku ke hall SMP untuk melihat pengumuman pembagian kelas dan denah sekolah. Di koridor kami bertemu dengan kak Farhan, salah satu sahabat kakak, yang hendak pergi ke kelas barunya. “Yo, Chard!” panggilnya. “Hei! Apa kabar, man?” Balas kakakku dengan senyum. Kemudian mereka melakukan tos ala geng mereka. “Eh, Rian! Apa kabar?” Tanya kak Farhan, menatapku dengan pandangan cerianya. “Hai, Kak Farhan.” Aku menyalaminya. “Ternyata kamu masih inget, ya?” Kak Farhan berkata senang. Aku mengangguk. Aku pernah bertemu kak Farhan sekali, saat dia main ke rumah untuk menonton latihan band kakakku.
Sejak mengikuti geng ini, kakak membentuk band sendiri dengan kak Tio dan kak Joseph. Kak Tio ketuanya, karena ia yang paling jago bermusik. Kakakku bermain drum, kak Joseph menjadi vokalis, dan kak Tio menjadi gitaris. Aku suka menonton latihan mereka, maka aku mengenal kak Joseph dan kak Tio. Namun selain mereka, dengan kak Farhan, adalah satu-satunya teman kakak yang kukenal. Kakak baru mengenalkan temannya yang lain padaku hari ini. Nasib teman seangkatanku pun tidak jauh berbeda dariku. Seluruh anak baru mulai saling mengenal setelah MOS.
Teman dekatku adalah Toni. Ia sudah akrab denganku sejak SD. Sebulan setelah semester dua, teman-teman mulai menjauhiku. Namun Toni tetap bersahabat denganku. Aku mendapat jawaban keanehan sikap teman-temanku darinya, yaitu bahwa BadBoy mulai membully teman-teman. Ia melihatnya sendiri, kakakku dan anggota lainnya, termasuk Dio, kakak Daniar, teman sekelasku yang mengalami nasib sama sepertiku. Aku langsung tidak percaya mendengar kelakukan kakakku yang sudah melewati batas itu. Meskipun Toni, sahabatku sendiriyang memberitahuku, aku masih tidak percaya. Masa sih, kakakku membully teman-temannya sendiri? Tapi Toni tidak mungkin bohong padaku. Mungkin aku harus benar-benar melihat sendiri buktinya.
Pada suatu hari, saat istirahat, aku hendak menuju ke kantin untuk menemui Toni, Daniar, dan Anjani, teman-teman seangkatanku. Kami memang berencana belajar bersama hari ini. Di tengah jalan, aku melihat kakakku dan teman-temannya sedang menyudutkan Reyhan, teman sekelasku, ke sudut tangga. Aku langsung berhenti, setengah menganga tidak percaya. Kakakku? Memalak Reyhan?! “Buruan! Mana duit lo?!” Gertak salah satu dari anak BadBoy, memojokkan Reyhan yang ketakutan. “A-aku... Aku nggak punya uang, kak.” Reyhan memelas. Kelihatannya ia takut dipukuli atau apa. “Bohong! Dio, coba periksa sakunya.” Kakak memberi perintah dengan tegas pada temannya yang bernama Dio itu. Dio mengorek saku Reyhan dengan kasar. Sepertinya aku kenal... Hei... Tunggu! Itu kakaknya Daniar! Ya, benar, itu pasti kakak Daniar. Tanganku mengepal semakin erat. Apa maksud dari semua ini?!
BERSAMBUNG....