Sabtu, 10 Maret 2012

Cerpen - Pengampunan Kala (Latihan Ujian Praktek)

Untuk Ayahku.
Terima kasih karena telah mengajariku nilai-nilai berharga dalam hidup ini. Semoga kelak aku dapat mewujudkan impianmu suatu hari nanti.


Pelajaran Mengampuni
“Woi! Anak haram lewat!”
“Menyingkir semuanya!”
Begitulah keadaan di kelas Kala setiap kali Kala melangkah masuk. Ucapan menyakitkan terdengar dari mulut teman-temannya. Ah, tapi Kala sudah sering mendengarnya.
Memang, Kala hanya tinggal bersama ayahnya. Ibu Kala meninggal saat melahirkannya. Teman-teman Kala tidak tahu akan hal itu. Mereka hanya tahu kalau Kala tidak punya ibu, maka dari itu mereka mengejek Kala seenaknya. Memanggilnya ‘anak haram’.
Suatu ketika, Kala sudah tidak tahan lagi mendengar ejekan teman-temannya. Ia memutuskan untuk bercerita kepada ayahnya.
“Yah,” Panggil Kala. Ayah pun mengalihkan pandangannya dari siaran berita di TV.
“Ada apa, sayang?” tanya sang ayah.
“Kenapa sih teman-teman sering ngejek Kala? Kan, Kala bukan anak haram, yah. Lagipula, Kala selalu berbuat baik sama teman-teman. Masa, air susu dibalas air tuba begini. Kenapa, sih, mereka masiiih saja betah ngejek Kala?” Tutur Kala, mengutarakan semua kekesalannya pada sang Ayah yang senantiasa mendengarkannya.
Ayah Kala memandang putri semata wayangnya dengan penuh sayang. Katanya, “Kala, cara melawan ejekan itu hanya dengan bersabar dan senantiasa mengampuni.”
“Tapi, ayah,” Tukas Kala sengit. “Ayah menamakanku Kala karena ayah ingin keadilan senantiasa berada dalam hidup Kala. Kenapa malah begini jadinya, sih, yah? Kenapa mereka tidak adil sama Kala?”
“La,” Ayah mengelus kepala Kala dengan lembut. “Mereka hanya iri sama kamu, sayang. Kamu itu cerdas, baik, tabah, dan sabar. Coba kamu hitung, berapa banyak anak sepertimu di sekolah? Kalaupun ada, masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.”
Kala merenungkan perkataan ayahnya. ‘Benar juga apa kata ayah.’ Pikirnya. ‘Di sekolah, yang memiliki orangtua tak lengkap sepertiku hanya beberapa anak saja.’
“Jadi, kamu harus kuat.” Sambung ayah Kala. “Tidak boleh cepat menyerah begini, oke?”
“Tapi tetap saja Kala kesal, yah! Apa hak mereka menyebut Kala seperti itu?!” Gerutu Kala.
 “Eh, kamu itu, ya! Baru saja ayah beritahu, sudah marah-marah.” Ujar Ayah dengan gemas. “Ah, kamu anggap saja mereka angin lalu, Kala. Ingat, ya, jangan menyimpan sampah dalam hatimu, tapi kembangkanlah cinta kasih.”
Kala mengingat perkataan ayahnya baik-baik di dalam hatinya.
‘Janganlah menyimpan sampah dalam hatimu,’ ulang Kala. ‘Tapi kembangkanlah cinta kasih.’ Hatinya bertekad akan melaksanakan saran dan nasihat ayahnya. Karena ia tahu, beliau selalu memberi yang terbaik baginya.
Persis keesokan harinya, seperti biasa, Kala mengayuh sepedanya ke sekolah. Di tengah jalan, tampak Arjuna, seorang teman sekelas Kala. Ia sedang mengendarai sepedanya dengan kecepatan tinggi.
“Woi, anak haram! Pelan bener jalan lo!” Ejek Arjuna saat ia melesat melewati Kala.
‘Sabar, La.’ Kala menabahkan hati. ‘Orang sabar disayang Tuhan.’
Kala baru saja membuka mulut untuk memperingatkan Arjuna, bahwa ada sebuah batu di depannya. Tapi, ternyata Arjuna melesat terlalu cepat. Sepedanya langsung oleng ke kiri saat ia menabrak batu besar itu. Alhasil, dengan sukses Arjuna tercebur ke selokan, bersama dengan tas dan perlengkapan sekolahnya. Kala nyaris menjerit melihat Arjuna terjatuh.
Buru-buru Kala menghampiri temannya itu, dan menolongnya keluar dari selokan. Ia juga mengumpulkan barang-barang Arjuna yang ikut tercebur barusan.
Begitu keluar dari selokan berair hitam itu, Arjuna terperanjat. Ia tidak menyangka bahwa Kala akan menolongnya. Terlebih lagi Kala mengambilkan semua barangnya yang tercebur. Arjuna semakin salah tingkah melihat itu semua. Ia merasa menyesal karena sempat-sempatnya meledek Kala barusan.
“Jun, ayo, saya antar kamu pulang. Tidak mungkin kan, kamu ke sekolah basah-basahan begitu?” Ujar Kala, sambil menyerahkan tas basah Arjuna kepada pemiliknya. Arjuna segera bangkit dan menerima tasnya. Ia mendirikan sepedanya dan hendak berjalan pergi meninggalkan Kala.
“Eh, Jun, tunggu! Biar saya antar.” Kala menawarkan sekali lagi.
“Lo serius mau nganter gue pulang?” Tanya Arjuna.
“Kenapa tidak? Rumahmu, kan, dekat. Nanti saya tinggal mengebut, pasti tidak akan terlambat.” Jawab Kala dengan percaya diri.
“Oh, begitu.” Arjuna menunduk,  tidak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya, ia mengakui kebaikan dan ketulusan Kala. Ah, tak urung, ia mengagumi gadis itu.
“La, eh, ehmm,” Arjuna gelagapan saat Kala memandang tepat ke matanya. “Ah, anu, eh, terima kasih, ya... Maaf karena di sekolah gue ngejek lo terus.”
Kala Tertawa mendengar perkataan Arjuna. “Tenang aja, saya sangat pemaaf,” candanya.
Arjuna ikut tertawa mendengar jawaban Kala. Mereka pun bercanda dengan santai selama perjalanan. Tertawa bersama seorang teman adalah hal yang amat jarang di mata Kala.
Kala tersenyum memandang ekspresi lega di wajah Arjuna. Ternyata, mengampuni sesama memang sangat menyenangkan. ‘Ayah benar’ Kala mengakui. ‘Jangan menyimpan sampah dalam hati, tetapi kembangkanlah cinta kasih.’

1 komentar: