Sabtu, 23 Juni 2012

Cerpen - Kasih Sayang Ibu

Kasih Sayang Ibu

By Rafa

“Wan, kamu sedang apa?”


Pertanyaan itu terlontar dari bibir tante Nadia setiap jam tujuh malam, persis sebelum makan malam. Biasanya aku mengabaikannya, membiarkan tante Nadia dan ayahku makan malam tanpa diriku. Selama sebulan, hal itu terus berlangsung. Aku memang tidak mau berurusan banyak dengan tante Nadia. 'Toh ia bukan ibu kandungku.' Pikirku, berusaha mengabaikan perhatian yang diberikannya padaku.


Tapi kali ini berbeda. Aku tidak bisa lagi mengabaikan pertanyaan itu. Tidak setelah apa yang diperbuat tante Nadia kepadaku.


Sekarang aku sedang terbaring di ranjang keras milik rumah sakit di dekat rumahku. Tante Nadia dan Irfan, adik tiriku, setiap hari datang menjengukku. Menggantikan ayah yang seharian menjagaku. Aku agak terhibur dengan kedatangan Irfan, karena ia mencairkan suasana tegang di kamarku. Aku masih belum berani menatap tante Nadia. Atau, mungkin aku seharusnya memanggilnya ‘mama’.



“Bagaimana, Wan? Sudah merasa agak sehat?”
Begitu pertanyaan tante Nadia setiap kali ia menjengukku, jam tujuh malam. Pertanyaan itulah yang menggantikan kalimat yang biasa ia ucapkan di rumah.


Akhirnya aku memang menjawab pertanyaan itu dengan jawaban sekadarnya. Aku tidak sampai hati mengabaikan pertanyaan itu. Tetapi aku belum bisa menatap mata orang yang mendonorkan salah satu ginjalnya bagiku, murni atas dasar kasih sayang.

‘Ia hanya ibu tiriku.’ Pikirku, kesal akan kenyataan bahwa ia begitu menyayangiku. Tante Nadia tidak seharusnya menyayangi aku seperti ia menyayangi Irfan. Aku bukan anak kandungnya. Bahkan, seharusnya ia membiarkanku terkapar dengan kedua ginjal yang tidak berfungsi. Tetapi tidak, kenyataan berkata lain, dan aku tidak bisa mengubahnya.


Aksi diamku berlanjut sampai pada suatu hari, saat aku tidak bisa menahan keingintahuanku. Ayah sedang menemani Irfan di rumah pada waktu itu. Aku hanya ditemani oleh tante Nadia, yang selalu memperhatikanku dari waktu ke waktu layaknya seorang ibu mengurus anaknya. Aku tidak meminta perhatian itu. Aku bahkan merasa tidak pantas menerimanya.


Tante Nadia, seperti biasa, selalu mengambilkanku air minum, berkeras agar aku tidak bangun dari ranjang sampai pinggangku benar-benar tidak terasa sakit. Ia bahkan menyuapiku, meskipun aku yakin ia tahu bahwa aku bisa memegang sendok dengan tanganku sendiri.


Saat ia berkeras menemaniku hingga tertidur, aku tidak bisa mencegah bibirku untuk tidak mengemukakan pertanyaan terbesarku selama ini. “Kenapa tante begitu sayang padaku?” Tanyaku. “Aku selalu mengabaikan tante, tidak pernah menjawab pertanyaan tante jika tidak diperlukan. Kenapa tante tetap mau mengurusku?”


Tante Nadia terlihat agak bingung dengan pertanyaanku barusan. Mungkin ia tidak menyangka bahwa aku akan bertanya seperti itu padanya. Sebenarnya, aku juga tidak menyangka bahwa aku akan mengucapkan pertanyaan-pertanyaan itu.


“Irwan,” Ujarnya lembut. “Memang, kamu bukan anak yang lahir dari kandungan saya. Tapi saya mengurus kamu karena saya sudah menganggap kamu sebagai anak saya sendiri. Kamu sudah menjadi kakak yang baik bagi Irfan. Itu sudah lebih dari cukup. Saya tidak peduli kamu mengabaikan saya, yang penting kamu rukun dengan Irfan. Yang penting, kamu selalu bahagia.”


Baiklah. Bagiku, itu memang jawaban yang cukup memuaskan. Tetapi Tante Nadia belum menjawab pertanyaan utamaku. Maka aku mengulang pertanyaanku lagi, “Mengapa tante sayang padaku?”


Tante Nadia tidak perlu berpikir untuk menjawab, “Wan, meskipun kamu memanggil saya ‘tante’, saya memiliki kewajiban sebagai ibu kamu. Dan, Irwan, rasa sayang itu sebenarnya tidak membutuhkan alasan. Apalagi kasih sayang seorang ibu.”


Aku benar-benar memikirkan ucapan tante Nadia barusan. Dan, untuk pertama kalinya sejak tante Nadia menikah dengan ayah, aku menatap lurus ke dalam mata tante Nadia, yang balas menatapku dalam-dalam. Aku dapat melihatnya di sana. Kasih sayang. Ketulusan. Keinginan untuk mencintaiku sebagai anaknya.


“Saya sayang sama kamu, karena kamu anak saya, Wan.” Katanya sungguh-sungguh.


“Itu juga yang membuat tante mendonorkan ginjal padaku?” Tanyaku lagi, hanya untuk memastikan. Tante Nadia mengangguk sebagai jawaban.


Lalu, tana kuduga, tante Nadia memelukku. Atau, mungkin aku seharusnya memanggilnya ‘mama’ mulai saat ini. Pelukan itu membuatku benar-benar merasa dekat dengannya, sebagaimana harusnya hubungan seorang ibu dengan anaknya. Aku merasakan, pada saat itu juga, bahwa ia memang menyayangi aku apa adanya. Tidak peduli bahwa aku tidak lahir dari kandungannya. Ia memang menyayangi aku sebagai anaknya.

Menyadari itu semua, aku balas memeluknya. Tidak mempedulikan lenganku yang diinfus, ataupun pinggangku yang masih terasa sakit.


“Terima kasih,” bisikku. “Terima kasih untuk segalanya, mama.”


Kurasakan kelegaan yang luar biasa saat aku memanggilnya 'mama'. Aku menyadari, tante Nadia terisak bahagia dalam pelukanku. Aku sendiri tidak dapat mencegah senyum yang terbentuk di bibirku. Aku sendiri juga merasa bahagia. Bahagia karena aku memiliki ibu sebaik dirinya.

Siapa peduli bahwa aku bukan anak kandung Mama Nadia...?
Yang penting adalah, ia menyayangiku. Apapun adanya diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar